Dalam rangka memeriahkan Hari Pangan Sedunia yang diperingati setiap tanggal 16 Oktober, Komunitas Surplus menggelar acara “Your Food Matters” yang diisi dengan acara nonton bareng film dokumenter (yang cukup memilukan) dari watchdoc “Negara, Wabah, dan Krisis Pangan”, dilanjutkan talkshow “A Sustainable Future For Food” yang menghadirkan Sita Pujianto (Urban Gardener), Gibran Tragari (Founder Sendalu Permaculture) dan Gina Karina (Coordinator, Food & Land Use (FOLU) Coalition WRI Indonesia). Acara ini berlangsung secara daring, 17 Oktober silam. Rekaman acaranya bisa dillihat di Youtube Channel Surplus Indonesia.

Berbicara tentang pangan, khususnya soal ketahanan pangan, kita tentu sepakat bahwa solusinya haruslah produksi pangan yang berkelanjutan. Dalam prosesnya, produksi pangan banyak membutuhkan sumber daya alam seperti air dan energi, dan banyak juga menghasilkan polusi dan limbah, sehingga jika tidak diolah dengan bijaksana, produksi pangan dapat berdampak pada degradasi lingkungan yang menyebabkan turunnya produktivitas pangan yang dapat mengarah ke krisis pangan.

Pada tingkat komunitas dan rumah tangga di perkotaan, kita dapat melihat semakin bertumbuhnya gerakan menanam makanan sendiri guna mewujudkan kemandirian pangan yang minimal dapat memenuhi kebutuhan keluarga atau kelompok di sekitarnya.

Hal itulah yang dilakukan oleh Gibran, founder Sendalu Permaculture. Berawal dari eksprimen pribadi untuk mewujudkan ketahanan pangan dari rumah, Sendalu kemudian bertumbuh menjadi ruang belajar bersama yang dapat menghidupi individu dan lingkungan sekitarnya.

Permakultur, Bukan Hanya Untuk Diri Sendiri  

Konsep permaculture atau permanent culture, bukanlah soal berkebun semata, tapi juga menyangkut makhluk hidup lainnya dan keseimbangan ekosistem secara menyeluruh.

“Kebanyakan orang mikir permaculture itu berkebun, sebenarnya  lebih ke sustainable agriculture atau pertanian yang berkelanjutan. Jadi tidak bisa cuma berkebun aja, tapi juga mikirin lingkaran ekosistemnya, sampahnya, komposnya, hingga apa dan gimana berkebun itu,” ujar Gibran, founder Sendalu Permaculture.

permakultur adalah

Gibran juga menambahkan kalau untuknya teknik berkebun bukanlah soal utama, tapi etika. Permaculture didasarkan pada 3 etika, yaitu Peduli Bumi (Earth Care), Peduli Manusia (People Care) dan Berbagi Adil (Fair Share).

Fair Share adalah salah satu cara pandang permaculture yang menarik. “Ketika kita bikin kebun, ada ruang untuk manusia, tapi ada ruang juga untuk binatang. Misalnya kita memelihara ayam, kita dapat telur dan daging, tapi mereka bisa gak hidup dengan layak, bisa bebas lari-lari, atau tidur dengan tenang? Itu semua jadi bahan pertimbangan. Jadi manusia bukan satu-satunya elemen. Kita bisa sambil memproduksi makanan dan sambil menjaga ekosistem ini berjalan. Singkatnya kita berjalan bersama alam, bukan melawan alam,”ungkapnya.

Dalam etika Berbagi Adil ini kelebihan atau surplus tidak dilihat sebagai sarana untuk menambah keuntungan tapi peluang untuk berbagi dengan sesama makhluk hidup.

Membangun Ketahanan Pangan di Lahan Terbatas

Sejalan dengan Gibran, Sita Pujianto, juga sudah menjalankan upaya untuk kemandirian pangan lewat kebun yang dibangun di lantai terbatas di rumahnya. Sita mulai menanam sejak 2013 sehingga sudah cukup lama ia tidak lagi sepenuhnya bergantung ke penjual sayur atau rempah untuk kebutuhan keluarganya. Keberadaan kebun ini pun dirasakan Sita semakin menguntungkan di masa pandemi seperti ini.

Sita Pujianto
Sita Pujianto, praktisi urban farming

“Sejak PSBB mulai berjalan, saya memang tidak keluar. Masalahnya bukan hanya soal pasokan makanan tapi juga apakah makanan yang kita beli di luar itu aman? Jadi diusahakan sumber makanan itu dari rumah supaya kita tidak bergantung. Meskipun ada beberapa yang kita tidak bisa, seperti menanam padi, atau minyak. Kan tidak ada pohon kelapa yang bisa ditanam di pot,” ujar Sita.

Menumbuhkan makanan juga membawa banyak manfaat lain bagi Sita, salah satunya lebih menghargai makanan, yang berdampak pada pertimbangan yang bijak untuk memproduksi makanan sehingga bisa meminimalisir sampah makanan.

“Ketika berkebun kita diajak untuk melihat proses, ada langkah-langkah yang dilakukan. Ketika biji meletek saja, rasanya saya ingin foto, dan ketika berbuah saya memfotonya dari berbagai angle. Sampai sekarang saya masih takjub apa yang bisa dihasilkan sebutir benih. Saya juga jadi lebih menghargai makanan. Makan pun jadi lebih lambat karena saya ingin menikmati apa yang saya tanam sendiri,”ujar Sita.

Sita juga menyebutkan soal regrow, atau menumbuhkan kembali bahan makanan dari makanan yang sudah ada. “Menurut saya regrow adalah cara tercantik untuk memperlakukan sampah, jika masih bisa dihidupkan.”

cara regrow makanan

“Terkadang kita sibuk soal benih, padahal di bahan makanan kita sudah banyak benih. Misalnya mau tanam cabe, ambil saja dari yang ada di dapur, lebih aman sudah pasti tumbuh, dibanding beli benih dari luar negeri. Daun bawang yang saya tanam berasal dari lima akar daun bawang yang saya beli di pasar. Sudah hampir setahun saya mandiri, tidak pernah membeli daun bawang, dan itu tersedia terus sepanjang tahun,”katanya.

Mulai Dari Yang Termudah

Nah, kalau kamu juga tertarik memulai proyek kemandiran pangan kamu sendiri, kami bisa mulai dari aksi yang paling mudah seperti yang disarankan Gibran, yaitu mengompos.

“Ini cara yang paling mudah, murah, bisa dimulai kapan aja, yang penting niat. Dari kompos kita bisa mendapat pupuk gratis yang menyehatkan tanah. Setelah itu kamu akan terhubung dengan hal-hal lain, memikirkan hal-hal baik apa lagi yang bisa kita lakukan, dan itu jadi kekayaan baru di hidup kita,”ujarnya.

BACA JUGA: 7 Pertanyaan tentang Kompos dan Solusinya
BACA JUGA:Apa Hubungan Kompos dan Perubahan Iklim?