Semua orang suka traveling, tapi yang membedakannya adalah bagaimana melakukan dan memaknai sebuah perjalanan. Bukan hanya sekadar tahu mengenai sebuah kebudayaan, melihat upacara adat, foto-foto,dan  selfie.

Traveling yang sejatinya adalah ketika perjalanan tidak hanya memberikan manfaat kepada traveler tetapi juga kepada masyarakat setempat,” jelas Zakiy, founder dari tour trip Lokali, sebuah biro perjalanan independen dengan muatan destinasi kultural.

Lebih lanjut Zakiy yang sudah mendirikan Lokali sejak November 2017 ini mengatakan industri pariwisata sebaiknya tidak hanya menggetolkan kuantitas perjalanan tetapi juga keberlanjutan dari tempat wisata tersebut. “Inilah yang disebut dengan eco tourism ketika traveling tidak hanya mengenai edukasi kepada traveler tetapi juga bermanfaat buat masyarakat setempat, keseimbangan hubungan antara pemodal dan masyarakat lokal,” tambahnya lagi.

BACA JUGA: 5 Tanda Kalau Anda Menginap di Eco Homestay

Kondisi yang sering terjadi adalah pemilik modal membatasi gerak masyarakat lokal dengan menjauhkan pada fasilitas-fasilitas yang dibangun oleh pemodal. Menjadikan masyarakat lokal hanya pion dan bukan penggerak langsung dari industri pariwisata.

Hal inilah yang membuat kebudayaan suatu daerah menjadi terjajah, hanya menjadi pemuas rasa penasaran akan pengalaman asing, tempat baru yang sedang happening untuk pengisi konten sosial media tanpa benar-benar memaknai perjalanan ataupun tempat itu sendiri.

Interaksi dengan Manusianya

Semangat inilah yang dibawa Zakiy pada Lokali, sehingga Lokali lebih mengedepankan cultural trip dengan limited seat. “Kami ingin membangun trip yang mengutamakan hubungan antara pendatang dengan masyarakat yang dikunjungi. Ada hubungan timbal balik jangka panjang yang hanya bisa terbentuk bila rombongannya dalam jumlah kecil,” cerita Zakiy lagi.

Berwisata adalah tentang bertemu dengan manusianya, dimana ada pertukaran budaya antara pendatang dengan masyarakat setempat begitu juga sebaliknya. Ada begitu banyak nilai-nilai luhur tradisional yang semestinya bisa ditiru masyarakat urban dari orang-orang lokal.

 

View this post on Instagram

 

A post shared by Social Cultural Initiative (@lokali.id) on

Tentang bagaimana memelihara bumi, menjaga keseimbangan serta keharmonisasian alam sekitar. Menurut Zakiy ada banyak kearifan lokal yang canggih dan sangat bisa diadopsi oleh masyarakat perkotaan. Sayangnya nilai-nilai ini kerap dikerdilkan dengan pola pikir asing yang menganggap apa yang dilakukan oleh masyarakat adat adalah sesuatu yang terbelakang.

Konsep sustainability yang digaung-gaungkan sekarang, sudah lama dijalani oleh masyarakat lokal Cipta Gelar di Sukabumi.  Dengan konsep berpanen enam bulan sekali, masyarakat tersebut sudah bisa swasembada beras sekaligus menghadapi musim panceklik dengan tabungan berasnya.

Selain konsep mengolah tanah, masyarakat Cipta Gelar juga menggunakan bahan-bahan alami, memaksimalkan penggunaan benda menjadi multi fungsi, dan menjaga pelestarian hutan. Nilai-nilai inilah yang semestinya sangat bisa diadopsi oleh para traveler ketika melakukan perjalanan.

“Seharusnya hal-hal seperti ini yang membuat perjalanan lebih bermakna dan mengutip pelajaran dari sana,” tambah Zakiy lagi. Traveling buat Zakiy adalah merasakan pengalaman bertemu dengan orang-orang baru, bersilaturahmi, dan bertukar wawasan. Pergi jauh untuk kembali dekat. Pulang ke inti dirimu.

BACA JUGA: Saatnya Beralih ke Hotel Sustainable