Sejatinya limbah fashion muncul pada setiap tahapan yaitu produksi, distribusi, dan konsumsi. Di tahap produksi, untuk kain katun konvensional, dibutuhkan banyak air untuk irigasi dan pestisida di perkebunan kapas. Ketika mewarnai kain dengan pewarna sintetis, tidak semua produsen memiliki pengolahan limbah yang baik, sehingga banyak zat pewarna beracun yang dibuang ke sungai ataupun lingkungan sekitar.

Ketika kain dipotong untuk dijahit, muncul sisa berupa perca, yang mayoritas dibuang saja, tidak dimanfaatkan. Setelah pakaian dipajang di toko dan tidak laku, tidak sedikit produsen yang membuang atau menghancurkan stoknya atas berbagai pertimbangan marketing.

Pada tahap konsumsi, pemakaian oleh konsumen, muncul lagi limbah. Ini misalnya berupa microplastik yang terlepas dari kain serat sintetis/poliester setiap kali pakaian tersebut dicuci. Pada akhirnya, ketika konsumen bosan atau merasa pakaian tersebut tidak layak pakai lagi, pakaian langsung dibuang dan menambah beban sampah di tempat pembuangan.

Topik inilah yang menjadi tema diskusi Jeanny dan Vonny dari Khaya Heritage Fashion bersama Komunitas Paprika Loca, pada Rabu (3/7) lalu. Menyadari bagaimana peran limbah fashion terhadap lingkungan, Khaya Heritage Fashion mengimbau konsumen untuk lebih cerdas dalam membeli dan menerapkan fashion.

Berikut rangkuman diskusinya.

BACA JUGA: Hidup Sehat dengan Suplemen Alami Propolis

SHARING SESSION

Paprika Living: Halo Mba Jeanny…boleh kenalan dulukah dengan teman-teman Paprika Loca

Jeanny: Halo teman-teman saya Jeanny, tinggal di Jakarta, ibu dari dua anak. Saya ditemani adik saya, Vonny, tinggal di Jakarta juga. Kami berdua mengelola brand ecofashion Khaya Heritage, sambil juga mengelola grup WA yang berfokus pada sustainable fashion

Vonny: Halo. Saya Vonny…

Paprika Living: Boleh cerita Mba, sudah berapa lama Khaya Heritage?

Vonny: Kurang lebih 4 tahunan

Meita: Hi Mba Jeanny, kalau boleh tahu, eco fashion-nya tuh maksudnya gimana yah? Apakah dari bahannya atau mengenai secondhand gitu?

Jeanny: Pertama berdiri tahun 2014, waktu itu belum di lini eco fashion. Per Januari 2018 baru kami beralih ke jalur yang lebih ramli (ramah lingkungan). Eco fashion bisa diartikan sebagai fashion yang memiliki dampak buruk seminimal mungkin terhadap lingkungan. Eco fashion merupakan bagian / jurusan dari sustainable fashion.

Jadi dalam sustainable fashion, paling tidak ada tiga jurusan, dan tiap brand bisa memiliki fokus yang berbeda yaitu:

  • Etis terhadap alam
  • Etis terhadap pekerja / buruh
  • Etis terhadap binatang dalam arti menjunjung animal rights dan anti animal testing

Khaya sendiri fokusnya ke nomer satu. Perwujudannya dalam penggunaan kain-kain yang diwarnai dengan pewarna alam dan metode potong kain zero waste / tidak meninggalkan perca sisa.

 

View this post on Instagram

 

A post shared by K H A Y A (@khaya.heritage) on

Suzanne: Waah keren tuh Mba! Zero waste! Apa alasan Mba Jeanny berpindah ke eco fashion Mba?

Jeanny: Nah ini Vonny lebih mumpuni, karena doi dosen fashion juga di Lasalle College. Di 2014 kami mulai dengan bikin baju-baju batik anak dengan warna-warna cerah. Waktu itu belum banyak brand yang fokus ke sana.

Lalu para orang tua pada pesan baju yang matching dengan anak-anaknya, sehingga kami bikin koleksi untuk the whole family. Kemudian, di perjalanan bisnis, kami bertemu dengan beberapa orang dan juga belajar dari berbagai sumber bahwa ada metode yang lebih eco friendly dalam membuat baju.

Kebetulan kami berdua ini tree hugger dan zero waster, jadi seneng banget dengan ide-ide eco fashion yang kami temukan.

Diandra: Ada tips membeli produk eco fashion terhadap alam? Atau gimana caranya kita tahu kalau produk tersebut ramah lingkungan?

Jeanny: Pertama bisa dari bahan baju tersebut: serat alam atau sintetis? Serat sintetis / poilester merupakan turunan plastik dan melepaskan mikroplastik ke air setiap kali dicuci.

Serat alam sendiri juga ada yang sustainable dan tidak. Katun ada yang organik dan tidak organik. Yang tidak organik banyak pakai pestisida dan menghabiskan banyak air di ladang kapasnya. Jenis serat natural lain juga ada yang sustainable dan tidak.

Terdengar susah ya milih bahan. Apalagi yang kain organik-organik itu biasanya lebih mahal. Kalau kita sanggupnya beli yang reguler, paling tidak pastikan bahwa kualitas bahan dan jahitannya baik sehingga baju tahan lama.

Vonny: Harus kritis dari konsumennya Mba. Tanya SPG perusahan mana, pabrik dimana? googling juga tentang perusahaan dan brand tersebut. Kalau untuk ramlinya, bisa dilihat minimal dari bahan yang digunakan, paling tidak ditulis 100% katun atau 100% linen yg paling umum.

Berarti baju ini di akhir masa pakainya bakal bisa dikompos ke tanah (relatif aman, nggak menimbulkan sampah plastik seperti polyester)

Tapi, sebenarnya yang paling penting justru cara kita belanja sebagai konsumen, saat beli baju, perlu dipikir apakah kita benar-benar butuh, benar-benar suka dan cocok dengan karakter kita? Dan semua barang yang telah kita beli ini juga harus dijaga dengan baik biar umurnya panjang dan bisa dipakai berkali-kali.

Di artikel paprikaliving.com juga ada tips-tips perawatan baju supaya tahan lama. Kalau ada kerusakan sedikit, kita perbaiki. Jangan buru-buru dibuang ya. Bisa juga didonasikan.

Paprika Living: Iya bener. Yang mau  baca, ini link-nya yah ttps://www.sandbox.paprikaliving.com/termasuk-orang-yang-doyan-beli-baju-anda-harus-baca-tulisan-ini/

Paprika Living: Kalau secara kasat mata dan tekstur, kita bisa bedain nggak Mba, katun yang organik dan yang tidak? Dan apakah sebenarnya ada efek ke kulit kita?

Nggak beda Mba dan nggak besar efek langsugnya ke kulit kita. Tapi besar sekali efeknya ke kerusakan lingkungan kita (air, tanah, udara)

Annisa Dianasari: Saya suka banget sama T-Shirt  serat bambu dari Uniqlo, apa itu juga termasuk eco fashion? Terimakasih

Vonny: Serat bambu ini buat saya nggak termasuk eco karena meskipun bahan dasarnya tanaman bambu yang sustainable, tapi dalam proses pembuatan seratnya ini rata-rata menggunakan banyak chemical beracun dan berbahaya bagi lingkungan dan kulit kita juga.

Ada juga perusahaan yang buat serat bambu dengan close loop system, chemical waste-nya diurus baik dan sebagainya. Tapi tetap ada residu di kain, dan yang lebih penting… susah dibedakan mana yang asal benangnya dari pabrik close loop, mana yang dari pabrik lain.

Jeanny: Dari pestisida dan konsumsi tanaman kapas terhadap air setika masih di ladang juga efeknya besar Mba. Cotton is one of the thirstiest crops in the world.  Each year 198 trillion liters of water is used in its production.

Jeanny: Tanah dan air yang digunakan untuk memproduksi katun telah menyita lahan produktif dan air bersih yang seharusnya bisa dioptimalkan untuk memenuhi kebutuhan pangan di negara-negara produsen katun.

Di Indonesia, harga masih bersaing dengan barang lain yang setara kualitasnya. Asal jangan dibandingkan dengan fast fashion yang memang diproduksi dengan biaya rendah: bahan murah, buruh dibayar rendah.

Vonny: Proses tanam kapasnya juga bisa saja nggak sustainable Mba. Mungkin kebunnya yang pakai lahan produktif yang seharusnya buat tanaman pangan, pestisida yg tinggi sehingga bahaya buat pekerja, tanah dan air, overproduction yang dipaksakan demi cari keuntungan, sehingga mengorbankan ekosistem sekelilingnya (seperti yang terjadi di Laut Aral).

Sonya: Mau aja eco fashion..tapi mahal nggak ya? Soalnya biasanya yang eco-eco gitu suka mahal…

Vonny: Kalau harganya mungkin lebih tinggi dibanding fast fashion Mba, tapi harus diingat bahwa memang itu harga yang timbul dari proses yang ethical. Dan memang saat ini sudah saatnya kita mengubah cara pandang kita bahwa beli barang semurah mungkin supaya hemat.

Tapi harus disadari juga ada pihak-pihak (manusia dan alam) yang dikorbankan demi menekan harga jual di pasar.

Vonny: Kalau bisa beli satu eco fashion yang jelas kualitas dan asal bahannya, pekerjanya dibayar layak, lebih berharga dari pada beli tiga baju murah yang mungkin kurang etis produksinya kan.

Annisa: Wah saya baru tahu close loop system, saya juga pernah dengar tentang bahan serat nanas organik bearti itu sudah eco ya?

Kalau serat nanas, setahu saya cukup ramah lingkungan karena memang prosesnya minim kimia Mba. Dengan cara digosok dan dipukul-pukul daunnya sampai jadi serat-serat halus yang kemudian dipintal jadi benang. Kalau diklaim organic, harus punya sertifikat organiknya dulu sih.

Paprika Living: Btw Mba, apakah online shopping juga mendorong orang untuk lebih konsumtif? 

Vonny: Iya sayangnya dampaknya lumayan kenceng, bikin orang belanja nonstop. Kemarin sempet lihat iklan market place tulisannya “baju baru setiap baru”.

Kalau konsumennya belum terdukasi tentang “gelapnya” industri fashion, ini bisa bikin dampak overconsumption sih menurut saya.

Heryani Wahyu: Terus gimana dengan pembalut kain? Untuk Mengurangi sampah pembalut banyak yang bikin pembalut yang bilang organik. Dari kemarin nyari. Dah googling yang bilang organik dari US dan Korea.

Vonny: Terlepas apakah kainnya organik atau tidak, menurut saya sudah bagus sekali kalau bisa mengurangi sampah pembalut sekali pakai. Kalau kainnya bisa benar-benar organik, ini bonus. Lebih baik lagi.

Paprika Living: Kalau dari sisi produsennya sendiri gimana Mba? Kira-kira perlu ada pihak yang lebih “kuat” lagi nggak Mba untuk mengatur perkembangan shopping online, misalnya pemerintah menetapkan regulasi. Tapi kalau dibikin gitu produsen bisa protes yaaah…

Vonny: Menurut saya pribadi sih perlu. Peraturan dari pemerintah karena memang jatah mereka bikin regulasi ya… produsen protes ya pasti ada aja. Tapi kan urusan sampah, toksin, dan kesehatan masyarakat dan bumi adalah tanggung jawab dan kepentingan kita bersama.

Paprika Living: Tapi sejauh ini pemerintah belum ada bikin peraturan mengenai hal tersebut ya Mba?

Heryani Wahyuni: Kalau aturan tergantung kota ya, buktinya Balikpapan berhasil minta penduduknya nggak pakai plastik sampai pasar. Harus digalakkan dari toko sih, setiap kebijakan.

Jeanny: Kita blum cari-cari tentang regulasi nasional sih. Paling yang terkait ethical fashion adalah regulasi UMR.

Vonny: Mungkin sampah fashion belum se-terekspose sampah plastik regular ya… banyak orang yang belum ngeh kalau baju kita yang bahan polyester itu juga bahan bakunya pun plastik.

Heryani Wahyuni: Memang perubahan nggak bisa dadakan juga seh.  Kalau pengetahuan fashion bisa disosialisasikan. Lebih oke lagi tuh.

Paprika Living: Iya sih tapi maksudnya kalau terkait dengan kontrol shopping online ada nggak ya? Ini juga penyumbang sampah besar plus merangsang orang jadi over konsumtif, gimana Mba?

Vonny: Blum ada ya setahu saya.

Vonny: Sejauh ini Khaya masi bisa minim bungkusan plastik sih. Harus dari masing-masing toko dan konsumennya yang aktif. Jadi Khaya kalau kirim barang kita bungkus cantik pakai kertas coklat bekas pola tugas-tugas murid Lasalle.

Jeanny: Maksudnya, produsen harus patuh membayar buruh garmen sesuai UMR.

Vonny: Cantik dan artistik. Lalu pas kirim paket juga kita kasih instruksi jelas dan tegas bahwa TIDAK PERLU DIBUNGKUS PLASTIK LAGI (instruksi Ke jne/tiki/jnt). Ya, karena ethical fashion juga bagian dari sustainable fashion.

Vonny: Kalau sebagai customer juga saya selalu bikin notes, chat, info double ke penjual bahwa saya mau bungkusan minim, tanpa bubble warp, dan alasannya adalah karena saya mau mengurangi sampah plastik yang nggak kepakai, takut rusak barangnya? Nggak apa-apa Mba, saya yang tanggung.

CLOSING

Paprika Living: Bagaimana teman-teman apakah ada yang punya pertanyaan lain? Sebelum kita tutup diskusinya.  Kalau tidak ada, mungkin Mba Vonny dan Mba Jeanny punya pesan-pesan inspiratif?

Jeanny: Baiklah. Terima kasih teman-teman atas waktu sharing-nya. Tadi udah kita obrolin tentang peran konsumen dalam mendorong fashion yang lebih berkelanjutan, karena memang peran konsumen ini penting. Sekarang makin banyak brand yang muncul dan mengusung sustainability dalam bisnisnya.

Tentu ini hal yang baik, dimana kita punya makin banyak pilihan yang baik. Bagaimanapun, seperti yang mbak Ester kutip di artikelnya, se-sustainable apapun suatu produk, kalau memang tidak kita butuhkan, ya tidak perlu kita beli. Sambil, kita pakai dan rawat yang sudah ada sebaik mungkin.

Paprika Living: Terimakasih Mba Jeanny dan Mba Vonny untuk diskusi hari ini.

Jeanny: Selamat istirahat, teman-teman. Mohon maaf jika ada kekurangan. Kalau perlu info-info lain, silakan kontak kami, DM di IG aja kayanya yang paling mudah.

Vonny: Thank you semua!! Selamat malam.

Putri: Makasih Mba Jeany dan Mba Vonny infonya benar-benar inspiratif dan membuka mata.

Jeanny: Sama-sama. Di IG @khaya.heritage, secara berkala kami bikin tips-tips perawatan dan reparasi pakaian, serta serba serbi sustainable fashion. Monggo di-follow.

Sonya: Trims Mbak buat diskusi malam ini.

Artikel ini adalah rangkuman percakapan dalam diskusi WhatsApp Group antara Jeanny dan Vonny dari Khaya Heritage Fashion dengan anggota Komunitas Paprika Loca! Diskusi seputar isu kesehatan diadakan tiap Rabu malam Pk.20.00 – 21.00. Silakan kirimkan email ke paprikaliving@gmail.com / DM Instagram @paprikaliving jika Anda mau bergabung. 

BACA JUGA: Liburan Ala Backpacker Tidak Sebatas Hanya Senang-Senang