Panas, takut hitam, “bau” matahari, itulah beberapa alasan umum mengapa orang menjauhi matahari. Hal ini banyak dilakukan orang dewasa, termasuk orang tua yang masih memiliki anak kecil. Daripada bermain panas-panasan, kita lebih senang jika anak-anak diam tenang, tidak keringatan di dalam ruangan dingin ber-ac.

Padahal, sinar matahari yang bisa kita dapatkan dengan cuma-cuma itu memberikan banyak manfaat untuk tubuh kita. Energi dari sinar matahari dapat meningkatkan mood sehingga dapat juga mempengaruhi tingkat kebahagiaan Anda.

Salah satu fakta yang menunjukkan ketergantungan manusia terhadap sinar matahari  tergambar dalam sebuah kondisi yang dikenal dengan Seasonal Affective Disorder atau SAD.

Istilah ini digunakan oleh Dr. Normal Rosenthal dari Universitas Georgetown untuk mendeskripsikan kondisi winter blues, yaitu perasaan lesu, sedih, sendu dan tidak berdaya yang muncul ketika musim dingin datang, yang membuat orang lebih banyak di rumah.

Beberapa ahli berspekulasi kalau gaya hidup modern dimana orang-orang menghabiskan lebih banyak waktu di dalam ruangan dengan pencahayaan buatan juga dapat menimbulkan gangguan SAD.

Rosenthal menemukan bahwa paparan sinar matahari selama beberapa menit setiap pagi dapat meningkatkan mood dan energi seseorang untuk menjalani hari.

Penelitian Pada Pekerja Malam Hari 

Penelitian terhadap pekerja shift juga menegaskan dampak sinar matahari pada suasana hati seseorang.

Mengacaukan siklus normal siang dan malam, seperti yang dilakukan oleh pekerja shift, dengan tidur di siang hari dan bekerja di malam hari, di bawah cahaya lampu, ternyata dapat mengganggu metabolisme tubuh.

Bak efek domino, kekacauan ini juga menyebabkan kekacauan lain pada tubuh seperti bagaimana tubuh menghasilkan energi dari makanan, sistem imun, dan hormon dan substansi lain yang mempengaruhi mood, berat badan, energi.

Sebagai contoh, pekerja shift malam cenderung memiliki bobot tubuh lebih berat dibandingkan mereka yang bekerja pada waktu normal.

Faktanya, orang-orang yang bekerja pada shift malam dan tidak mendapatkan cahaya matahari akan memproduksi hormon melatonin lebih sedikit daripada mereka yang bekerja pada jam kerja konvensional.

Produksi hormon melatonin sendiri bergantung pada cahaya. Normalnya, seseorang akan memproduksi lebih banyak hormon melatonin pada malam hari, saat tubuh kita bersiap untuk tidur. Jumlah melatonin akan kembali berkurang seiring dengan cahaya matahari yang kita terima pada pagi hari.

Nah, saat musim dingin, jumlah hormon melatonin meningkat lebih cepat, sehingga dapat menyebabkan perubahan mood seseorang menjadi “sendu” atau “mendung” atau terjadinya gejala SAD yang dijelaskan di atas.

Sinar Matahari Meningkatkan Serotonin 

Cahaya matahari memang dapat mempengaruhi mood seseorang. Penelitian yang mempelajari pengaruh ini berfokus pada hormon di otak yang secara langsung berhubungan dengan suasana hati kita, yaitu serotonin.

Semakin tinggi jumlah serotonin semakin tinggi pula perasaan puas dan tenang dalam diri kita yang akan mengurangi tingkat depresi dan kecemasan.

Salah satu studi yang berasal dari Australia menyebutkan bahwa jumlah serotonin pada otak seseorang lebih banyak terjadi pada hari yang cerah.

Maka itu kita disarankan untuk mendapatkan paparan sinar matahari setiap hari. Setelah pandemi rasanya semakin banyak orang yang sudah membiasakan diri untuk berjemur dan merasakan manfaatnya. Apalagi berjemur sambil berolahraga.

Di negara-negara yang memiliki musim dingin, banyak orang menggunakan “tanning beds” bukan hanya untuk menggelapkan kulit, namun juga untuk mendapat perasaan bahagia dari sinar ultraviolet.

Tidak hanya hormon serotonin dan melatonin, sinar ultraviolet juga dapat mendorong terbentuknya melanosit, yaitu sel yang memproduksi pigmen gelap di kulit. Melanosit ini akan membantu tubuh untuk melepaskan endorfin, hormon yang membuat kita merasa lebih baik.

So, dokter mungkin tidak akan menuliskan sinar matahari pada resepnya, tetapi, tidak ada salahnya untuk bangun dari kursi kamu di pagi hari dan biarkan dirimu  terpapar sinar matahari.

BACA JUGA : Bagaimana Cara Tahu Vitamin D Kita Cukup atau Kurang?