Makanan Fungsional, apakah itu? Singkat kata, kalau kamu sudah pernah makan yoghurt, maka kamu sudah pernah makan makanan fungsional. Lebih lengkapnya, baca lebih lanjut ya.

Coba saya tanya lagi, selama ini bagaimana cara kamu memilih makanan sehari-hari? Pilih yang sehat atau yang sesuai dengan selera?

Selama ini fungsi makanan memang umumnya berkisar diantara dua hal itu; yaitu sebagai sumber zat gizi (fungsi primer) atau untuk menyenangkan lidah (fungsi sekunder).

Namun seiring dengan meningkatnya kesadaran masyarakat akan kesehatan, tujuan untuk makan telah mengalami pergeseran. Bagi orang-orang tertentu yang amat menjaga kesehatannya, kenikmatan bukan lagi prioritas utama dalam memilih makanan, tapi lebih kepada apa manfaatnya.

“Kita itu maunya makan yang enak. Berapa lama sih makanan itu dirasakan lidah kita? Hanya beberapa detik saja. Enggak sebanding sama kerugiannya kalau itu makanan enggak sehat,” ungkap Riani Susanto, ND, ahli detoksifikasi dan naturopati pada PaprikaLiving.

Di masa depan, bahan pangan yang diminati bukan hanya yang sehat dan menarik, tapi juga harus memiliki fungsi fisiologis (fungsi tersier) bagi tubuh. Fungsi fisiologis misalnya menurunkan tekanan darah, kadar kolesterol, meningkatkan penyerapan kalsium dan sejenisnya. Singkatnya, makanan harus membawa manfaat bagi tubuh, bukan hanya enak atau tidak enak.

Munculnya Konsep Pangan Fungsional 

Beragam penelitian telah menunjukkan bahwa jenis makanan tertentu dapat membantu mencegah maupun mengobati penyakit. Fakta ini mengkonfirmasi pemikiran filsuf Hippocrates yang sudah membicarakan tentang fungsi makanan sejak 2,500 tahun silam. Anda tentu pernah mendengar kutipannya yang sangat terkenal, yaitu “Let your food be your medicine and let your medicine be your food”  atau “Jadikanlah makananmu sebagai obatmu dan obatmu sebagai makananmu”.

Dari sinilah lahir konsep pangan fungsional. Pada prinsipnya makanan fungsional merupakan makanan yang dirancang dengan memanfaatkan senyawa bioaktif tertentu yang mempunyai fungsi untuk mencegah penyakit tertentu.

Makanan ini berada di tengah-tengah antara makanan dan obat, digunakan untuk pencegahan bukan pengobatan. Functional foods juga banyak disebut sebagai agromedical food, neutraceutical, pharma foods atau designer foods.

Namun sampai sejauh ini belum ada definisi functional foods yang disepakati di seluruh dunia. Dosen Teknologi Pangan Universitas Ciputra Surabaya, Oki Krisbianto, di laman Quora pada Juli 2020 mengatakan bahwa pengertian tentang Pangan Fungsional atau Nutraceutical bisa dibilang “kacau-balau”. Bahkan US dengan FDA-nya nggak mengenal sama sekali istilah nutraceutical atau functional food.

Oki menjelaskan bahwa Perhimpunan Penggiat Pangan Fungsional dan Nutrasetikal Indonesia (P3FNI), didukung UGM dan program studi Teknologi Pangan di Indonesia, juga dihadiri BPOM, Dinkes, dan berbagai institusi lain, pernah mengadakan FGD dengan tujuan agar Pangan Fungsional kembali “diakui” oleh undang-undang di Indonesia. “Namun, saya perhatikan sepertinya sampai sekarang nggak ada kabar lagi,” jelasnya.

Akhirnya, definisi Pangan Fungsional yang dirumuskan pada pertemuan itu berakhir di halaman depan situs web P3FNI – Perhimpunan Penggiat Pangan Fungsional dan Nutrasetikal Indonesia, yaitu:

“Pangan fungsional adalah pangan (segar / olahan) yang mengandung komponen yang bermanfaat untuk meningkatkan fungsi fisiologis tertentu, dan / atau mengurangi risiko sakit yang dibuktikan berdasarkan kajian ilmiah, harus menunjukkan manfaatnya dengan jumlah yang biasa dikonsumsi sebagai bagian dari pola makan sehari-hari.”

“Definisi yang lebih baru menyertakan “bahan segar”. Jadi, salah satu contoh yang bisa disebut pangan segar bersifat fungsional adalah buah tomat. Klaimnya ada pada kandungan likopen tomat. Contoh lain adalah beras merah dan beras hitam, tinggi serat dan antosianianin sehingga baik untuk dikonsumsi pasien diabetes. Tempe juga sudah dikenal di dunia sebagai superfood dan sudah banyak penelitiannya. Tempe buatan Jepang saya yakin sudah bisa disebut Pangan Fungsional karena mengandung zat antikanker,” demikian penjelasan Oki.

Konsep makanan fungsional tidak banyak mengalami penolakan malah bisa dibilang mudah diterima konsumen terutama setelah kita ketahui bahwa penyebab terbesar kematian manusia bukanlah virus atau bakteri tapi lebih karena pilihan yang kita buat sehari-hari. Ya, seperti memilih makanan!

“Penyakit seperti kanker, jantung, stroke, dan diabetes jadi pembunuh utaman di banyak negara. Itu terkait pola dan ragam makanan tak sehat,”kata Marry K Schmidl, Presiden International Union of Food Science and Technology di dalam sebuah artikel di Harian Kompas.

Konsep Makanan Fungsional Awalnya untuk Melindungi Lansia

Istilah pangan fungsional digunakan pertama kali oleh para peneliti di Jepang. Masyarakat Jepang mempunyai usia harapan hidup (UHH) tertinggi di dunia.

Data pada tahun 1991, usia perempuan di Jepang mencapai 81,8 dan laki-laki 75,8 tahun. Padahal pada awal tahun 1947, UHH orang Jepang adalah 50 tahun untuk perempuan dan laki-laki. Di masa yang sama, UHH orang Eropa mencapai 70 tahun.

Kemudian para peneliti mempelajari lebih dalam tentang faktor yang mempengaruhi usia manusia, salah satunya adalah makanan. Di Jepang, makanan yang berpengaruh pada umur panjang antara lain ikan, kedelai, sayuran hijau dan rumput laut.

Untuk merawat lanjut usia (lansia) yang populasinya semakin meningkat, pada 1984 pemerintah Jepang memikirkan lebih serius tentang makanan fungsional. Makanan ini diharapkan dapat melindungi para lansia yang rentan terkena penyakit dan meningkatkan kualitas hidup mereka.

Kemudian diciptakanlah sebuah kategori yaitu FOSHU (Food for Specified Health Uses), yang menggolongkan makanan yang secara ilmiah terbukti mengandung komponen yang mempunyai efek menguntungkan bagi kesehatan.

Logo FOSHU (Food for Specified Health Uses)
Logo FOSHU (Food for Specified Health Uses) pada sebuah produk yoghurt di Jepang. Foto: Emi Tetra

Klaim yang diizinkan untuk digunakan pada produk pangan fungsional meliputi klaim kandungan gizi, klaim fungsi gizi dan klaim manfaat terhadap kesehatan.

Contoh klaim kandungan gizi yang diizinkan adalah “diperkaya kalsium”, “mengandung serat pangan’, “tinggi asam folat”.

Di Indonesia, regulasi pangan fungsional telah ditetapkan dengan Peraturan Kepala Badan POM Nomor: HK.00.05.52.0685 pada tahun 2005 tentang Ketentuan Pokok Pengawasan Pangan Fungsional. Dari data BPOM, pergerakannya turun naik meski tidak terlalu signifikan. Dari 1.772 makanan pada tahun 2012, turun naik hingga sebanyak 1.246 makanan pada tahun 2017.

Kita tentu gembira jika makin banyak makanan fungsional beredar di masyarakat. Hanya saja, apakah standar evaluasi BPOM sama ketatnya dengan seleksi FOSHU? Menurut Oki, peraturan ini sudah tidak berlaku. “Dulu BPOM sudah mengeluarkan peraturan soal Pangan Fungsional, tetapi akhirnya peraturan ini ditarik kembali karena banyak penjual/ produsen ngawur yang ngasal klaim produk mereka,”jelasnya.

 

Minuman FOSHU
Prosusen minuman ringan di Jepang berlomba-lomba untuk menciptakan lini versi “sehat”nya

Tren Pangan Fungsional

Tentu saja pasar ini sangat menarik untuk produsen makanan maupun minuman. Saat ini tren pasar makanan dan minuman fungsional di dunia telah meningkat secara dinamis. Jepang merupakan pasar terbesar di dunia (US$ 11.7 milyar), diikuti oleh Amerika Serikat dan Eropa.

Tidak hanya di negara maju, permintaan pangan fungsional juga telah meningkat di negara-negara berkembang seperti India, Brazil dan China. Diprediksi bahwa permintaan pasar terhadap pangan fungsional akan meningkat dua kali lipat dalam lima tahun mendatang.

Pada tahun 1995 ketika standar Foshu diluncurkan, Jepang baru menyetujui 35 produk dan kini diketahui sudah lebih dari 1,000 produk yang dinyatakan lolos seleksi ketat Foshu.

Produsen pun berlomba untuk memasuki pasar yang menarik ini. Merek produsen bir Suntory misalnya, menciptakan Kuro Oolong Tea, yang mengandung oolong tea polymerized polyphenols, dan Goma Mugicha (sesame barley tea) yang diklaim dapat menurunkan tekanan darah.

Merk Kirin juga meluncurkan Kirin Mets Cola yang mengandung dextrin, yang diklaim dapat membatasi penyerapan lemak. Minuman ini dijuluki “Cola Paling Sehat di dunia”.

Meski lolos seleksi, produk ini dan sejenisnya menimbulkan keheranan di tengah masyarakat, banyak yang beranggapan kalau memasukkan sesuatu yang baik ke dalam bahan yang buruk tidaklah membuatnya menjadi produk yang baik.

Pangan Fungsional, Salah Satu Jalan Untuk Meringankan Beban BPJS?

Guru Besar Pangan Institut Pertanian Bogor (IPB), Prof. Dr. Purwiyatno Haryadi, MSc. mengatakan kalau di Jepang minuman prebiotik telah menjadi pangan fungsional untuk melengkapi kecukupan pangan pokok sehari-hari, di Indonesia menurut beliau, sebenarnya jamu bisa jadi seperti itu.

“Indonesia perlu gali potensi yang sama di industri ini, karena upaya kurangi beban kesehatan atau sebut saja BPJS, bisa dilakukan melalui upaya preventif. Nah, pola makan sangat erat hubungannya dalam upaya preventif tersebut,” ungkapnya.

Menteri Kesehatan Nina F. Moeloek seperti dilansir dari suara.com, juga mengungkapkan hal yang senada soal jamu sebagai kekayaan lokal yang harus dimanfaatkan untuk kesehatan masyarakat Indonesia. Untuk itu diperlukan saintifikasi jamu sebagai salah satu solusi memangkas biaya pelayanan kesehatan yang membengkak.

“Saintifikasi Jamu adalah pembuktian ilmiah jamu melalui penelitian berbasis pelayanan kesehatan. Salah satu tujuannya adalah memberikan landasan ilmiah (evidence-based) terhadap ramuan jamu melalui penelitian yang dilakukan di sarana pelayanan kesehatan,” jelas Menkes kepada awak media di Sheraton Mustika Yogyakarta Resort, Selasa (20/8/2019).

BACA JUGA: Bagaimana Cara Mengolah Tanaman Herbal?