Mungkin Anda masih ingat, di tengah masa pandemi, pada 1 Juli 2020 lalu, supermarket dan toko-toko pada umumnya sudah tidak menyediakan kantong plastik lagi untuk pembeli? Dan semua orang yang prihatin akan masalah kantong plastik di negeri ini pun sepertinya berseru, “akhirnya!” (dan sebagian lainnya mungkin bertanya-tanya “mengapa begitu lama?”)

Peraturan menggembirakan tersebut tertuang dalam Pergub Nomor 142 tahun 2019 tentang Kewajiban Penggunaan Kantong Belanja Ramah Lingkungan. Pada Pasal 5, dikatakan larangan tersebut diberlakukan di tempat perbelanjaan seperti toko, swalayan, dan pasar rakyat.  Sehingga tempat-tempat tersebut dilarang menyediakan kantong kresek dan wajib menyediakan kantong belanja guna ulang.

Pelanggar dapat dikenakan sanksi mulai berupa teguran tertulis, uang paksa atau denda sebesar Rp5 juta hingga Rp25 juta, pembekuan izin, hingga pencabutan izin.

larangan plastik pergub-142

Aturan Sudah Dibuat, Bagaimana Pelaksanaannya?

Inilah yang menjadi pertanyaan banyak orang yang juga menjadi topik pembahasan dalam webinar yang  diadakan oleh Kang Singkong, sebuah Program Kemitraan antara Pemerintah, Masyarakat, dan Industri yang disiarkan secara daring pada 22 Oktober lalu.

Acara ini dimoderatori oleh Variati Johan (Sekretaris Jenderal Gerakan PASTI), dengan para pembicara antara lain Ir. H. Andono Warih MSc. (Kepala Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta), H. Muhammad Taufik (Wakil Ketua DPRD DKI Jakarta), Widodo Edi Sektianto (Sekretaris Jendral ASA Center), Naning Adiwoso (Ketua Gerakan PASTI), Tulus Abadi (Ketua Umum YLKI), dan Tommy Tjiptadjaja (Ketua Umum AMIHN) Asosiasi Masyarakat dan Industri Hijau Indonesia

Para pembicara yang dihadirkan mewakili setiap pemangku kepentingan, sehingga menyaksikan webinar ini publik bisa mendapat gambaran dan “laporan” yang menyeluruh dilihat dari berbagai sisi.

Salah satu yang menarik disimak adalah sesi Naning Adiningsih Adiwoso dari Gerakan Plastik Akal Sehat Indonesia (PASTI). Ia memaparkan temuan dari survei-survei lapangan yang dilakukan oleh tim gerakan PASTI sejak Juli hingga Oktober 2020. Dari survei tersebut ditemukan bahwa kantong kertas dan kantong spundbond/PP adalah jenis kantong yang paling banyak dipakai di pusat-pusat perbelanjaan, sementara pasar-pasar tradisional masih memakai kantong kresek. Beberapa tempat juga masih “kucing-kucingan” dengan petugas karena takut dikenakan sanksi.

jenis kantong ramah lingkungan

Dalam presentasinya, Naning juga memberikan gambaran dari perspektif Geo Economy, Geo Environment dan Geo Social Politics. “Mayoritas penduduk Indonesia ada di BOP (Bottom of Pyramid). Mulanya BOP kita 56%, tapi dengan adanya COVID telah naik menjadi 56,9%. Jadi ada orang-orang Miskin Baru. Dan orang-orang ini adalah pengguna plastik yang paling besar karena mereka kurang informasi dan pengetahuan tentang dampak plastik. Orang kota itu lebih mudah kalau dilarang, kalau di pedesaan kita harus memberi pengertian lebih,”ungkap Naning.

Ia mengakui transisi ini tidak akan mudah, tetapi disitulah pentingnya banyak pilihan solusi ramah lingkungan, termasuk kantong singkong tidak larut air (karena untuk pakai ulang), sehingga persaingan ekonomi akan membuat harga-harga kantong ramah lingkungan terjangkau semua lapisan masyarakat.

Tulus Abadi dari Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia juga mendukung semangat dan implementasi Pergub 142 ini. Menurut penilitian yang diadakan oleh YLKI, lebih dari 80% konsumen di DKI Jakarta bersedia untuk beralih ke Kantong Belanja Ramah Lingkungan. Catatannya adalah bahwa kita harus memastikan bahwa Kantong Belanja Ramah Lingkungan sebaiknya dapat dijangkau oleh konsumen, khususnya secara harga.

Inovasi Teknologi + Inovasi Sosial 

Tommy Tjiptadjaja dari Asosiasi Masyarakat dan Industri Hijau Indonesia (AMIHN), memaparkan perjalanan industri dan teknologi dalam mengeksplorasi potensi solusi yang sesuai dengan Pergub 142 hingga akhirnya menemukan bioplastik singkong yang tidak larut air.

Teknologi yang dinamakan Ecoplas ini, ungkap Tommy, dibuat oleh seorang anak bangsa asal Jambi hasil 10 tahun riset. Ecoplas tidak larut air, dirancang untuk pakai ulang, mudah dilipat dan disimpan kembali, dan bisa sebagai kantong sampah atau didaur ulang. Harganya pun lebih murah dari spunbond dan kertas.

ecoplas

Meski begitu, Tommy menekankan bahwa teknologi saja tidak cukup. “Tetap perlu edukasi cara pakai, yaitu dipakai ulang, dan cara buang, yaitu tidak sembarangan. Kita juga tidak mau karena mentang-mentang kantongnya ramah lingkungan jadi bisa dibuang dimana saja,”ungkapnya.

Kesimpulannya, ungkap Tommy, “Inovasi teknologi harus dipadukan dengan inovasi sosial agar perubahan bisa berkelanjutan.”

Semua pembicara juga menyinggung soal solusi lokal. Sejatinya solusi yang akan digunakan berasal dari negeri kita sendiri sehingga sesuai dengan keadaan dan tantangan yang kita hadapi di Indonesia. “Kita tidak bisa tiru Eropa misalnya, mereka punya empat musim, sementara kita negara tropis. Solusi kita berhubungan dengan kelembapan dan panas matahari,”ungkap Naning.

Widodo Sektianto dari ASA Center juga memberi catatan yang serupa. “Kita harus nasionalis dan percaya diri terhadap pendekatan-pendekatan bangsa sendiri, Indonesia, bukan mengadopsi/meniru solusi luar saja. Solusi-solusi yang diarahkan perlu mengutamakan kepentingan rakyat, daya beli masyarakat, budaya masyarakat Indonesia, dan juga faktor higienis di jaman COVID ini.”

Tentang Kang Singkong

Setelah sesi tanya jawab, di akhir acara Program Manager Kang Singkong, Libbis Sujessy, dari gerakan PASTI memberi paparan tentang Kang Singkong. Kang Singkong merupakan program kemitraan antara pemerintah, masyarakat, dan industri (produsen kantong belanja + brand-brand pemakai kantong) sebagai bentuk implementasi solusi ramah lingkungan kantong nabati/singkong Ecoplas di DKI Jakarta yang dilakukan secara holistik dan berkesinambungan.

Program ini juga merupakan perwujudan dari Prinsip EPR (Extended Producer/Stakeholder Responsibility) dimana di dalamnya terdapat elemen edukasi, pemungutan/collection system untuk mengubah kebiasaan (behavior change) agar kantong nabati/ singkong yang sudah rusak/ kantong yang dipakai ulang dapat dikumpulkan didaur ulang, atau menjadi kantong sampah untuk sampai ke TPA dan tidak bocor ke lingkungan (laut, sungai, dsb.).

Kang Singkong meyakini bahwa ketika masyarakat, khususnya konsumen dan industri, berhasil mengubah pola perilaku kantong belanja menjadi ramah lingkungan, maka jumlah sampah plastik yang ke TPA maupun yang bocor ke lingkungan juga akan juga berkurang. Semoga program ini membuahkan hasil yang baik sehingga Jakarta jadi kota yang lebih bersih, sehat dan nyaman untuk warganya

BACA JUGA: Kemana Perginya Sampah Jakarta?
BACA JUGA: Bereskan Masalah Sampah Mulai Dari Rumah Tangga