Sesekali bawa oleh-oleh lain dari Hong Kong selain cerita tentang barang belanjaan baru.

Apa yang dicari orang di Hong Kong? Makanan enak, pemandangan cantik cahaya yang tiap malam memandikan gedung-gedung tinggi, mengalami Disneyland, atau untuk penggila belanja, mungkin sampai kapan pun Hong Kong tak ubahnya teman baik yang selalu menyenangkan untuk dikunjungi.

Wajah kota yang sesak dengan bangunan tinggi dengan radiator AC dan jemuran menempel di sisinya, jalan-jalan layang tak berjiwa, dan kemacetan mungkin menjadi bagian biasa untuk yang suka kehidupan kota, sebaliknya jadi gambaran kurang menarik untuk mereka yang ingin menikmati alam.

Saya termasuk di kelompok kedua, ditambah lagi beberapa kali kunjungan saya ke Hong Kong tidak menyisakan kenangan manis. Di kepala saya, negara yang namanya berarti “fragrant harbour” ini selalu terasa tergesa-gesa, padat dengan manusia yang begitu sibuk beternak uang. Di tiap sudut kota saya merasa selalu dicegat untuk membeli sesuatu. Kalau membeli sesuatu, kasirnya kelihatan hanya peduli untuk mengambil uang saya saja. Kalau naik taksi malah senewen karena seringnya kedapatan supir berwajah super stress. Buat saya, salah satunya, kalau bukan satu-satunya yang menyenangkan dari negara ini adalah dim sumnya yang variasinya melimpah ruah.

Namun hubungan saya dan negara ini bak plot klise di film romantis. Hanya beberapa saat sebelum saya memutuskan untuk membenci Hong Kong dengan segenap pikiran dan perasaan, saya pergi menumpang sembarang ferry untuk membunuh waktu, dan menemukan Lamma Island.

Pesona pulau ini membuat saya mampu menerima Hong Kong apa adanya.

Kesenyapan di tengah hiruk pikuk Hong Kong

Tak sampai satu jam, saya naik ferry dari Central, di Pulau Hong Kong, dan tiba di Lamma Island. Pulau ini adalah pulau ketiga terbesar di antara total 236 pulau yang ada di Hong Kong, dan menurut hikayat, inilah pulau pertama yang dihuni penduduk sekitar 5000 tahun silam.

Keluar dari kapal ferry dan menjejakkan kaki di Lamma Island, terasa suasana hiruk pikuk kota menguap di sini, dan saya melihat wajah Hong Kong yang berbeda, wajah yang lebih rileks, lebih menenangkan, lebih cocok untuk saya. Duduk di sebuah restoran seafood (dengan ikan segar) yang menghadap laut, saya menghirup ketenangan yang tidak pernah saya kira akan saya dapatkan di Hong Kong.

Saya terkesima dengan kekontrasan ini. Di pinggir laut yang tenang saya bisa melihat di seberang lautan sana, ada Hong Kong yang gegap gempita, yang bisa saya rasakan lagi dalam waktu 40 menit.

Di Lamma island tidak ada gedung-gedung tinggi, karena menurut peraturan, bangunan tidak boleh lebih dari tiga lantai. Saya juga tak harus mengalah untuk berbagi jalan dengan mobil, karena mobil yang ada hanya mobil kebakaran dan satu ambulans. Kalaupun ada yang sering berseliweran, itu hanya kendaraan mini bermotor dengan bak terbuka di belakangnya yang digunakan untuk mengangkut barang-barang toko seperti air gallon. Di pulau Lamma semua orang jalan kaki atau naik sepeda.

pantai di hong kong
Pantai di Pulau Lamma, pantainya asyik, aman dan bersih
Turbin angin Pulau Lamma
Turbin angin pertama di Hong Kong ada di Pulau Lamma.

Kekontrasan ini menjadikan Lamma sebagai tempat ideal untuk mereka yang ingin mencari gaya hidup alternatif dari kehidupan metropolis. Membentang seluas 13.55 km persegi, pulau ini berisi sekitar 6,000 penduduk yang heterogen, mulai dari masyarakat lokal yang sudah berumur ingin mencari ketenangan, ekspatriat dengan berkeluarga muda, kumpulan hippie, sampai para seniman ‘lammaist’ yang populer dengan komunitasnya, Community of Artists on Lamma Island. Sering disebut singkat dengan CALI, komunitas ini adalah wadah peleburan seniman lokal dan ekspatriat. Pantas saja di sini ada lumayan banyak galeri.

Beragam galeri itu ada di daerah Yung Shue Wan atau disebut juga dengan Banyan Bay, pusat kehidupan pulau Lamma. Di belahan utara pulau inilah berpusat areal pemukiman, Café, bar, toko roti dan swalayan mini.

Tapi bukan gara-gara berada di luar pulau utama maka pilihan makanan jadi terbatas. Belanja makanan di swalayan mini di sini sama saja dengan di Kowloon atau Hong Kong. Semua makanan dan minuman penggembira suasana tersedia dari kudapan sampai es krim.

Di ujung jalan Yung Shue Wan, ada Tin Hau, sebuah kuil kuno, yang menurut legenda, dipercaya sebagai dewi laut pelindung para nelayan. Tin Hau menjadi rumah untuk pembakaran dupa, dan juga ada tulang-tulang tua ikan paus. Walau sudah mengalami renovasi beberapa kali, kuil yang didirikan sejak tahun 1870 ini katanya masih dalam bentuk aslinya.

Di persimpangan antara area Yung Shue Wan dan Sok Kwu Wan, ada Pavilion. Sebenarnya dari bawah sudah bisa terlihat bangunan yang seperti bale-bale ini berdiri cantik di pinggir tebing di puncak tertinggi.

Setelah berjalan cukup lama, spot ini ini bak air dingin yang mengguyur tenggorokan kering. Sambil mengatur kembali napas, saya berlama-lama duduk santai menikmati udara sejuk dan pemandangan laut Cina Selatan yang menenangkan sekaligus menyeramkan.

Gua Kamikaze Peninggalan Jepang dan Perlindungan Penyu Hijau Yang Hampir Punah 

Beberapa saat mendekati Sok Kwu Wan ada sederetan gua-gua yang lebarnya sekira sepuluh meteran dengan kedalaman puluhan meter. Menurut cerita, ketika Jepang menduduki Hong Kong pada perang dunia kedua, gua-gua ini digali untuk menyembunyikan kapal-kapal kamikaze. Tentu saja bukan mereka sendiri yang menggali semua gua itu, melainkan para romusha.

Namun konon, pada akhirnya gua-gua itu tidak pernah dipakai sampai akhirnya Jepang menyerah. Sampai sekarang gua-gua yang disebut kamikaze caves itu dibiarkan begitu saja. Entah apa yang ada di pikiran para romusha yang malang kalau tahu hal ini, setelah semua kerja keras yang mereka lakukan…

Tak lama dari gua, saya sampai ke Sok Kwu Wan. Dikenal juga sebagai Fisherfolk’s Village, desa ini merupakan ladang perikanan terbesar di Hong Kong. Maka tak heran banyak sekali pilihan restoran sea food. Daerah ini bukan hanya ramai dikunjungi turis, orang lokal pun ke sini untuk menyantap makanan laut yang kesegarannya sudah terpercaya.

Jejeran restoran ini bisa membingungkan karena mereka terlihat hampir sama, macam toko handphone di ITC Roxy. Salah satu tempat yang cukup baik adalah The Genuine Lamma Fishing Seafood Hilton Restaurant Village (namanya memang sepanjang itu). Resto ini enak dijadikan tempat minum dengan santai.

Karena jaraknya cukup dekat dari pantai, kita juga tidak harus lari-larian ketika melihat ferry untuk pulang sudah merapat di dermaga. Ada juga resto yang menarik tapi tak sempat saya sambangi, yaitu “Shau Kee”, restoran seafood dan burung dara milik keluarga aktor Chow Yun Fat yang tumbuh besar di Lamma, di desa Tung O.

Untuk menyempurnakan petualangan di pulau Lamma, saya mampir ke Sham Wan. Wilayah yang merupakan situs arkeologi terpenting di Hong Kong ini adalah peternakan penyu hijau khas Hong Kong yang kini berada di ambang kepunahan.

Upaya penduduk dan pemerintah utuk menjaga penyu ini cukup serius. Selain gerakan melakukan bersih-bersih pantai, ada area khusus yang dilarang untuk dimasuki. Tiap Juni sampai Oktober adalah waktu para penyu datang ke pantai untuk meletakkan telur-telurnya. Di masa berkembang biak ini, orang dilarang masuk untuk melindungi penyu hijau dan telur-telurnya.

Larangan masuk ke area konservasi penyu hijau.
Penyu di Lamma-Island-Hong-Kong
Pantas banyak gambar penyu ternyata Pulau Lamma adalah rumah dari populasi penyu hijau yang hampir punah.

Karena Pulau Lamma, kini saya punya kenangan manis akan Hong Kong. Hidup lebih dekat dengan alam, kuil antik, berenang di pantai, seafood segar, seni, dan peternakan penyu yang dilindungi.

Itu cerita Lamma yang tak akan saya lupa.

BACA JUGA: 12 Destinasi Wisata Dunia yang Terancam Rusak Karena Pariwisata