Pintu sebuah apotek terbuka, disambut dengan sapaan selamat datang dari pekerja di dalamnya. Seorang perempuan mendekati konter dengan wajah mengernyit seperti menahan sakit.

“Sakit perut obatnya apa,ya?” katanya.

“Sakitnya gimana, bu?” tanya pekerja yang (mungkin) seorang apoteker.

“Nyeri.  Di sebelah sini,” jawabnya lagi sambil memegang perut bagian kanan di atas pinggang.

Sang apoteker pun memanggil rekannya yang ada di balik lemari obat, yang dilihat dari wajahnya, mungkin seniornya. “Bu, kalau nyeri perut kanan, apa ya bu? Ini (sebut merek) bisa kan?”

Sang senior mengangguk.

“(nama merek) aja bu,” kata apoteker menyarankan kepada si tamu

“Bisa ya? Ya Udah, saya mau deh,”ujarnya

Sebelum membungkus obat untuk dibawa pergi, apoteker tak lupa menjelaskan dosis yang harus diminum si pembeli.

Dari cerita di atas, adakah yang salah? Apa bisa kita konsultasi ke apoteker aja tidak usah ke dokter? Apa boleh apoteker memberi obat tanpa melakukan pemeriksaan standar?

Swamedikasi, Mengobati Diri Sendiri 

Ketika sakit, memang banyak orang yang mencoba untuk mengatasi sendiri terlebih ketimbang langsung ke dokter.

Berkonsultasi dengan dokter perlu usaha tersendiri dari segi biaya, waktu, maupun energi sehingga sebagian orang pada kondisi tertentu lebih suka bertanya pada “apoteker”.

Tidak ada yang salah dengan ini. Proses melakukan pengobatan atas inisiatif sendiri ini disebut dengan swamedikasi atau self care atau self medication.

Seperti Apa Bentuk Swamedikasi?

Bentuk swamedikasi seperti membiasakan diri minum 8 gelas air sehari, berolahraga, meminum jamu buatan sendiri di rumah, berolahraga, memakai essential oil aromatherapy, termasuk membeli obat ke apotek.

Sekilas mungkin tidak ada yang salah dari cerita di atas, namun secara ideal ada tahap yang terlewat.

Apoteker yang baik akan melakukan tahap yang menjadi standar dalam melayani konsumen yang melakukan swamedikasi.

Tahapan ini bisa menjadi catatan kita untuk menemukan apoteker yang bisa dipercaya.

Apa saja tahapan Apoteker yang Amanah & Jujur?

1. Collect data 

Apoteker atau pihak apotek melakukan pengumpulan data sederhana dari:

  1. Pasien terlebih dahulu, seperti siapa pasiennya,
  2. Apakah orang tersebut ataukah keluarganya,
  3. Apa gejala yang dirasakan,
  4. Berapa lama sudah merasakan gejala tersebut,
  5. Apa saja yang telah dilakukan (minum obat atau terapi tertentu),
  6. Dan pertanyaan-pertanyaan lainnya mengenai kondisi pasien. 

Tahap ini bisa dilakukan dengan simpel saja untuk mengetahui poin-poin esensial yang perlu diketahui.

2. Assessment

Assessment adalah proses menilai dan mengidentifikasi informasi yang didapat untuk menentukan apakah keluhan pasien termasuk penyakit ringan atau berat.

Contoh 

Misal jika batuk, maka harus dapat ditemukan informasi dari pasien:

  • Apakah batuknya termasuk batuk berdahak ataukah batuk kering.
  • Ataukah misalnya jika batuk disertai dengan sesak nafas yang menimbulkan bunyi ‘mengi’ maka keluhan tersebut termasuk asma.
  • Warna dahak juga menjadi penting karena jika tidak berwarna bening dan cenderung kuning kehijauan, maka artinya pasien mengalami infeksi.

Hal-hal seperti ini yang menjadi penting untuk diketahui untuk dapat menentukan obat yang tepat.

Selain itu, mengetahui obat lain yang sedang dikonsumsi agar tidak terjadi interaksi dengan obat atau terapi lain yang sedang digunakan pasien.

3. Plan Therapy

Setelah ditentukan dari dua tahap di atas bahwa tidak ada gejala berat dan tidak diperlukan diagnosa lebih dalam ke dokter terlebih dahulu, maka dipilihkan obat yang sesuai dengan gejala dan informasi yang telah didapat.

Nah, membeli obat ke apotek tidak menjadi masalah jika memang pasien tersebut sudah mengetahui obat tersebut dan rutin meminumnya.

Misal obat untuk penyakit degeneratif seperti diabetes, kolesterol, dll. Namun memang tahapan diatas dilakukan oleh pihak apotek untuk memastikan pengobatan dilakukan secara tepat, aman dan rasional.

Pasien perlu mengetahui juga bahwa walaupun dapat diperoleh tanpa resep ataupun nasehat dokter, penggunaan obat tetap dapat menimbulkan efek samping yang tidak dikehendaki jika tidak dipergunakan sesuai aturan.

Selain itu, perlu diinformasikan cara pemakaian obat, efek samping yang dapat timbul, maupun saran tambahan terkait makanan yang pelu dipantang.

Misal peppermint oil untuk membantu meringankan sakit kepala, istirahat yang teratur supaya cepat membaik, ataupun saran lain yang bermanfaat.

Apa batasan apoteker dalam memberikan obat?

Jika dari gejala yang telah diinformasikan pasien atau keluarga pasien, terdapat ‘alarm symptom’ atau ‘gejala tanda’ bahwa penyakit tersebut tidak boleh diatasi dengan swamedikasi/pengobatan sendiri, pasien diagnosa lebih lanjut ke dokter.

Misalnya, ada pasien mengeluhkan sakit kepala, jika dari informasi pasien didapat bahwa keluhan dirasakan baru 1 hari, maka dapat diberikan obat analgesik (penghilang rasa sakit) biasa untuk mengatasinya.

Namun jika sakit kepala telah dirasakan terus menerus, atau lokasi sakit disertai rasa kaku di leher, atau sakit kepala hebat selama lebih dari 4 jam, maka ini termasuk gejala tanda bahwa sakit kepala yang dikeluhkan bukan sakit kepala biasa.

Jadi, jika ada gejala tanda tertentu dari informasi yang didapat maka apoteker atau pihak apotek tidak boleh memberikan obat, tetapi menyarankan untuk pasien agar berkonsultasi lebih lanjut ke dokter.

Penulis adalah seorang apoteker