Di Indonesia, perbincangan tentang tanaman ganja kerap kali mendingin dan menghangat.

Pernah menghangat setelah seorang anggota DPR Rafly Kande dari Fraksi PKS melontarkan usulan agar ganja jadi komoditas ekspor. Dia berpendapat ada peluang tanaman ganja bisa diatur dalam regulasi khusus, seperti bahan baku industri obat atau farmasi.

Usulannya pun lantas memicu berbagai pendapat dan penolakan dari Badan Narkotika Nasional (BNN), LSM anti narkoba, bahkan partai politik pengusungnya sendiri.

Meski tumbuh secara alami di Indonesia, penggunaan ganja dilarang oleh undang-undang, namun di lain sisi kita tahu kalau pelegalan ganja sebagai komoditas untuk obat-obatan sudah dilakukan beberapa negara.

Berdasarkan berbagai bukti ilmiah, saat ini setidaknya sudah ada 31 negara yang melegalkan penggunaan ganja untuk medis, diantaranya Kanada, Meksiko, Jerman, Denmark, Finlandia, Israel, Argentina, Australia, dan beberapa negara bagian Amerika Serikat.

Di beberapa negara bagian di Amerika Serikat marijuana sudah dijual dalam berbagai brand. Beberapa selebriti pun bermain dalam bisnis ini, seperti  Mike Tyson dengan label Tyson Ranch dan Houseplant, perusahaan marijuana milik aktor dan komedian Seth Rogen.

 

View this post on Instagram

 

A post shared by Tyson Ranch™️ (@tysonranchofficial) on

 

View this post on Instagram

 

A post shared by Houseplant (@houseplant) on

 Di Asia, Thailand adalah salah satu negara yang memberi perhatian serius pada potensi medis tanaman ganja. Pada 2019 silam, Rangsit University di Thailand membuka jurusan budidaya mariyuana pada fakultas pertaniannya.

Pihak kampus berharap program ini dapat mempersiapkan mahasiswanya menjadi pengusaha di industri ganja atau bekerja pada bidang pertanian mariyuana di wilayah dunia yang melegalkannya.

Pada 9 Juni 2022, Thailand menjadi negara pertama di Asia yang mengeluarkan ganja dari daftar narkotika.

Penelitian Ganja di Indonesia

Di Indonesia, karena ganja terlarang, tak heran jika kita tidak mendengar perkembangan ilmiah soal potensi ganja untuk pengobatan. Meski begitu, beberapa kelompok yang meyakini potensi tanaman lokal ini terus berupaya untuk mendorong riset yang diharapkan bisa menjadi dasar ilmiah pemanfaatan tanaman ganja sebagai obat.

Salah satunya adalah Yayasan Sativa Nusantara (YSN), sebuah lembaga yang dibentuk salah satunya untuk melakukan penelitian terhadap kekayaan etnobotani nusantara.

Yayasan ini bertekad untuk memperjuangkan agar seluruh kekayaan etnobotani nusantara dapat dimanfaatkan oleh Bangsa Indonesia sebagai aset untuk menegakkan kedaulatan dan swasembada kesehatan.

Secara khusus, fokusnya adalah terhadap tetumbuhan yang termasuk di dalam kategori tanaman strategis.

Peter Dantovski, Ketua riset Budaya Ganja Nusantara (BGN) Yayasan Sativa Nusantara, pernah hadir di diskusi online Paprika Living dan memberikan gambaran yang lebih luas seputar pemanfaatan tanaman ganja dan hubungannya dengan swasembada kesehatan.

Danto, demikian dia disapa, mengatakan bahwa ada 344 kabupaten kota di Indonesia yang memiliki sistem pengetahuan tentang tanaman yang biasa digunakan untuk ramuan pengobatan. Sistem tersebut bersumber dari ilmu etnobotani yang dikuasai para leluhur. Jenis tanaman serta ramuan yang dikumpulkan bisa mencapai ribuan resep.

“Di sisi lain, data evaluasi tetantang BPJS menunjukkan defisit besar  28 T. Ini kan ironi. Indonesia memiliki ketergantungan impor yang sangat besar terhadap materi farmasi dan kosmetik. Padahal khasanah kekayaan etnobotani yang ada di seluruh nusantara seharusnya dapat didayagunakan secara penuh untuk mencapai swasembada kesehatan,” ujar Danto.

YSN dalam hal ini mendorong agar negara melihat potensi tersebut dan mau memanfaatkannya dengan langkah awal, yaitu riset.

“Nah, dalam khasanah etnobotani kita menemukan ada tanaman-tanaman yang memiliki potensi medis yang sangat besar tetapi anehnya statusnya ilegal,” ungkapnya.

Salah satunya adalah tanaman ganja, yang di Indonesia digolongkan sebagai narkotika golongan satu. Tentang ini, Danto berpendapat kalau narkotika sendiri multitafsir.

“Dari bahasa latin narcos, sesuatu yang membuat tidur. Tapi tiba-tiba diartikan sebagai zat atau obat yang berasal dari “tanaman” dan bukan tanaman yang dapat menghilangkan rasa sakit, mengubah kesadaran dan seterusnya. Jadi narkotika setelah konvensi 1961, Single Convention on Narcotic Drugs, lebih merupakan istilah politik dan bukan ilmiah. Dalam konvensi itu diciptakan status ilegal bagi tanaman-tanaman yang memiliki potensi medis. Arahnya monopoli farmasi. Definisi narkotika tersebut, seperti yang tercantum dalam UU narkotika kita, lebih sesuai untuk mendefinisikan psikotropika.”

Penelitian Masih Menggantung

Pada bulan Desember 2014, YSN menerima surat ijin dari Kementerian Kesehatan Republik Indonesia untuk melakukan penelitian tentang manfaat medis tanaman cannabis.

Tapi langkah ini bertabrakan dengan lembaga negara lain yang menangani isu narkotika yaitu Badan Narkotika Nasional.

“Menurut BNN surat tersebut bukan surat izin. Kemudian BNN menyatakan bahwa belum perlu dilakukan penelitian tentang manfaat medis tanaman ganja. Jadi sampai sekarang menggantung,”jelas Danto.

“Yang bisa dilakukan oleh kawan-kawan LGN adalah mendorong Kemenkes untuk berani melakukan riset. Energinya diarahkan ke Kemenkes. Tidak perlu menghujat dan konfrontatif terhadap BNN karena mereka adalah pelaksana undang-undang,”lanjutnya.

Meski begitu, Danto bercerita kalau YSN pernah diberi kesempatan untuk mempresentasikan hasil riset mereka. “Sosialisasinya gampang-gampang susah. Event Pekan Kebudayaan Nasional 2019 kemarin misalnya. YSN diberi kesempatan menampilkan hasil risetnya tapi tidak boleh vulgar. Misal, nggak boleh ada kata ganja. Kebayang nggak? Bangsa macam apa yang sebegitu takutnya dengan tanaman?”

YGN berencana untuk mempresentasikan hasil riset BGN ke publik mulai awal tahun depan (2020) secara bertahap. Tetapi yang menarik menurut Danto adalah saat ini semakin banyak akademisi seperti sejarawan, arkeolog, antropolog yang merapat ke YSN.

Mereka mulai berani terbuka bicara tentang sejarah pemanfaatan ganja di nusantara, karena cukup banyak petunjuknya, seperti naskah-naskah kuno berbahasa Melayu dengan aksara pegon dari abad 16, relief di beberapa candi dan beberapa lagi.

Jika dilihat dari naskah-naskah kuno itu saja kita bisa melihat kegunaannya untuk mengobati diabetes. Dikombinasikan di dalam ramuan, bersama rempah dan tanaman lain, tanaman ini bisa mengobati sakit lambung, peradangan kulit, jantung dan lain-lain.

“Artinya jika tanaman tersebut diriset dengan prosedur ilmiah yang ketat kemudian hasil risetnya dihilirisasi, artinya dapat dikapitalisasi dan itu bisa menjadi devisa,”ungkap Danto.

BACA JUGA: Obat Anti Kanker Sari Pati Ganja Buatan Ilmuwan Jamaika Ini Mendapat Pengakuan FDA