Dunia membutuhkan pariwisata, tetapi bukan jenis pariwisata yang sedang berlangsung sekarang. Waktu jalan-jalan untuk berlibur mungkin banyak dari kita sudah merasa curiga kalau industri pariwisata sekarang sedang dalam kondisi buruk, tapi tidak benar-benar bisa menjelaskan apa yang salah. Tapi sampai kamu menonton “The Last Tourist”, barulah kamu tahu jelas apa yang sebenarnya terasa tidak benar.

Ditulis dan disutradarai oleh Tyson Sadler dan diproduksi oleh Bruce Poon Tip, film dokumenter ini mengulik berbagai permasalahan pariwisata yang mengganggu dalam suguhan gambar-gambar yang indah.

Banyak masalah di dunia pariwisata saat ini, salah satu yang dibahas adalah overtourism, yang mengacu pada tujuan wisata yang dikunjungi terlalu banyak orang. Misalnya saja kuil-kuil kuno di Angkor Wat atau reruntuhan Machu Picchu. Tempat-tempat ini sering disebut juga sebagai “tujuan honeypot” alias destinasi yang dikunjungi orang hanya untuk memberi tahu dunia kalau mereka pernah ke sana. Ini adalah fenomena nyata. Di film ini disebutkan kalau sebanyak 29% pelancong milenial mengatakan kalau mereka tidak akan pergi ke suatu tujuan jika mereka tidak dapat mempostingnya di Instagram.

Yang membuat keadaan makin parah adalah sikap hedonistik yang dibawa begitu banyak orang ke tempat liburan mereka. Banyak wisatawan yang jadi hidup lebih sembrono, makan lebih banyak, minum lebih banyak, atau mandi lebih lama, karena atmosfer liburan membuat mereka ingin lepas dari kebiasaan di rumah.

Mungkin kita tak menyadari kalau hal-hal seperti ini dampaknya sampai ke masyarakat lokal, yang mungkin sudah kekurangan sumber daya dan sering kali malah kehilangan keuntungan finansial dari pariwisata.

Di film ini juga diulas dampak mengerikan yang dirasakan penduduk lokal yang hidup di destinasi tujuan kapal pesiar. Penduduk lokalnya ternyata jarang menghasilkan uang dari kunjungan singkat penumpang ke pantai—kecuali, seperti yang dikatakan film ini, mereka telah bekerjasama dengan perusahaan kapal pesiar agar tamu dibawa berbelanja ke tempat mereka dan membayar komisi.

Pariwisata Dan Pertunjukan Hewan 

“The Last Tourist” juga menyoroti sisi gelap pariwisata yang lain yaitu kekejaman terhadap hewan yang digunakan untuk atraksi seperti gajah, lumba-lumba, harimau, dan monyet, di negara-negara seperti Thailand. (National Geographic melakukan paparan mendalam tentang ekploitasi ini di program “Biaya Tersembunyi dari Wisata Satwa Liar.”)

Banyak turis yang mau merogoh kocek untuk menonton pertunjukan satwa. Para penyedia hiburan melatih satwa untuk melakukan trik yang sangat menghibur penonton yang kemudian mempostingnya di instagram. Apa yang mungkin tidak kita sadari adalah betapa sebenarnya perilaku ini tidak wajar dilakukan hewan dan menggelitik kita untuk bertanya apa yang dilakukan untuk memaksa para hewan itu mau melakukannya.

Program Liburan Dan Jadi Sukarelawan 

Tren pariwisata lainnya adalah liburan sembari menjadi sukarelawan di panti asuhan. Rupanya program ini adalah salah satu sektor dengan pertumbuhan tercepat dalam pariwisata. Para wisatawan, yang kebanyakan datang dari negara-negara maju akan menjadi sukarelawan di panti asuhan di negara-negara seperti Kenya, Kamboja.

Mereka muncul selama beberapa jam atau hari untuk berinteraksi dengan anak-anak, kemudian meninggalkan mereka untuk kembali ke negaranya. Tanpa disadari ada arogansi yang terselip di sana. Karena datang dari kehidupan yang lebih baik, para wisatawan itu — meski tanpa pendidikan, pelatihan, kemampuan linguistik, atau bahkan kedewasaan yang cukup — dianggap bisa mengajar anak-anak “kurang beruntung”.

Terlepas dari niat mulia para sukarelawan, kegiatan ini meresahkan, baik untuk pertumbuhan mental anak-anak yang menemui orang yang datang dan pergi, dan juga untuk industri yang menyertainya.

Di film ini dikatakan bahwa 80% anak-anak yang tinggal di panti asuhan setidaknya memiliki satu orang tua yang masih hidup, dan jumlah panti asuhan di negara-negara ini meningkat drastis karena tingginya minat wisatawan akan program berlibur sambil beramal ini.

Pengunjung datang dalam bus penuh, mengganggu kegiatan kelas, membagikan permen, mengambil selfie, dan mengharapkan pertunjukan. Ini adalah jenis hiburan yang tidak akan pernah diterima di negara asal mereka, jadi mengapa hal itu diperbolehkan di tempat lain?

Judy Kepher-Gona, pendiri Sustainable Travel & Tourism Agenda Kenya, mengatakan, “Ini adalah cerminan dari apa yang kami lakukan dengan hewan di kebun binatang.”

Liburan Yang Lebih Berkesadaran 

 Meski banyak mengupas sisi suram pariwisata, bagian akhir film ini diisi dengan nada yang lebih berpengharapan, mengajak kita melihat kalau pariwisata bisa menjadi kekuatan yang dapat membawa perubahan. Pariwisata bisa membawa orang keluar dari kemiskinan dan mendukung kelestarian lingkungan — selama kita, para pelancong berlibur dengan kesadaran kalau kita sedang ada di rumah orang lain dan mau melakukan sedikit riset kemana uang kita akan pergi kalau kita mau belanja atau menyaksikan sesuatu ketika sedang liburan.

Jane Goodall, pakar primata dan antropolog asal Inggris yang muncul sepanjang film, setuju. “Pariwisata yang bertanggung jawab dapat benar-benar bermanfaat bagi hewan, lingkungan, masyarakat setempat, pemerintah, dan wisatawan.”

Tentu maksud film ini bukan mengajak orang berhenti bepergian, tetapi untuk mengubah cara kita melihatnya dan menjalaninya.

Tidak semua orang beruntung untuk melakukan perjalanan liburan. Maka dengan kembali dibukanya dunia setelah pandemi, ada baiknya kalau kita lebih berusaha untuk berhati-hati, hormat, dan melakukan riset sebelum berkunjung untuk memastikan uang yang kita habiskan di sana dapat memberikan dampak positif ke tempat kunjungan dan penduduk lokalnya, dibanding sekadar untuk healing sambil bersenang-senang.

BACA JUGA: Temukan Penerbangan Yang Lebih Sustainable Dengan Google Flights