Banyak Restoran dan Makanan Deklarasikan “Tidak ada MSG”

“Wah, pasti banyak mecin-nya nih,” canda Sarah ketika menikmati mie ayam enak bersama teman-temannya. Kita sering mendengar kalau mecin, micin, atau MSG kerap dijadikan “tersangka” kalau ada makanan yang enak banget, enaknya “tidak biasa”, atau gurih sekali.

Banyak restoran dan makanan kemasan pun kini mendeklarasikan “No MSG”, seolah ingin mengatakan kalau makanan mereka enak, itu bukan karena MSG.

Selain itu untuk menenangkan konsumennya, karena banyak studi mengungkapkan hubungan antara MSG dengan berbagai gangguan kesehatan seperti sakit kepala, alergi, hingga obesitas.

Apa sebenarnya MSG?

Monosodium glutamat, lebih dikenal sebagai MSG, adalah asam glutamat yang diproses. Jika pada sebuah kemasan Anda tidak menemukan kata MSG.

Belum tentu dia bebas MSG, karena terkadang ia tersembunyi di balik sebutan-sebutan aliasnya, antara lain lain E621, ekstrak ragi, autolyzed yeast, protein nabati terhidrolisis, atau natrium caseinate.

MSG dan glutamat terkenal digunakan untuk meningkatkan rasa, dan ternyata bukan hanya pada makanan namun juga bahan-bahan lain.

Raymond Francis, ilmuwan dan konsultan gizi mengungkapkan hal ini di buku Hungry for Change yang ditulis James Colquhoun.

“MSG dan glutamat bebas digunakan untuk meningkatkan rasa pada sekitar 80 persen dari semua makanan olahan.

Selain dipakai pada sebagian besar makanan olahan, ia dipakai juga pada suplemen makanan, kosmetik, produk perawatan pribadi, obat-obatan, dan makanan hewan,”ungkap Francis.

Russell Blaylock, seorang ahli bedah saraf, menjelaskan bahwa MSG pertama mulai digunakan dalam makanan selama masa perang [Perang Dunia II] dan ditambahkan ke dalam ransum tentara Jepang untuk meningkatkan rasa dan merangsang nafsu makan.

“Mereka telah lama mengetahui bahwa sedikit monosodium glutamat akan membuat rasa makanan menjadi sangat baik.

Jadi jika Anda menambahkan MSG pada makanan yang sangat buruk, terutama makanan kalengan, rasanya akan menjadi enak.

Nah, ketika produsen makanan mendapat kabar penemuan ini, mereka juga mulai menambahkan MSG pada makanan, termasuk makanan bayi,” ungkap Blaylock yang juga menulis buku Excitotoxins: The Taste That Kills.

“Selain membuat kita ingin makan lebih banyak, MSG aktif menggairahkan bagian dari otak kita yang bertanggung jawab atas program lemak kita.

Setelah itu bagian dari otak kita itu gembira, tubuh kita mengaktifkan program ini, yang membuat kita berpegang terus pada lemak,”jelasnya.

“Setiap ilmuwan tahu ini,” kata Jon Gabriel, seorang peneliti. “Bila Anda ingin mempelajari obesitas dan Anda ingin mempelajari tikus gemuk, Anda harus membuat gemuk tikusnya.

Cara Anda membuat tikus menjadi gemuk adalah dengan memberinya makan MSG. Bahkan ada istilah untuk itu, yaitu tikus obesitas yang disebabkan MSG.

Apakah MSG Berbahaya atau Tidak?

Jika Anda menanyakan apakah MSG berbahaya atau tidak, Anda akan mendapatkan jawaban yang beragam.

Ada juga pendapat yang mengatakan bahwa terlalu banyak garam lebih berbahaya daripada penggunaan MSG yang secukupnya.

  • Jadi, apakah Anda sebaiknya tetap menganggap MSG sebagai bahan yang berbahaya?

Dari penjelasan Dr. Russell Blaylock, ya. Ini karena efek MSG bersifat kumulatif. Kepekaan terhadap MSG akan menumpuk di tubuh sampai kita mencapai apa yang ia sebut “ambang sensitivitas.”

Singkatnya, kalau sekarang tubuh Anda tidak bereaksi terhadap MSG, bukan berarti selamanya akan begitu.