Setelah menimbang-nimbang cukup lama, akhirnya kamu jadi juga beli baju baru dari sebuah online marketplace. Selain rasa senang mempunyai sesuatu yang baru, pernahkah kamu berpikir bahwa cara kita mengenakan dan memperlakukan pakaian bisa mempengaruhi jejak karbonnya?

Kita bisa melakukan berbagai upaya untuk tidak menambah tumpukan sampah di Tempat Pembuangan Sampah dengan sampah baju kita, antara lain: selalu memakai semua baju dengan maksimal (artinya sampai baju itu secara fungsi tidak bisa dipakai lagi, bukan karena bosan atau sejenisnya), mendonasikannya, menjualnya di platform barang second, mendaur ulang, atau menyewakannya—semua cara ini selaras dengan konsep ekonomi sirkular.

Tapi dari semua cara itu, cara mana yang paling baik?

Dalam sebuah studi yang diterbitkan dalam jurnal Environmental Research Letters, sebuah tim peneliti Finlandia menghitung apa saja dampak yang bisa diakibatkan dari berbagai macam cara di atas, dan mana langkah yang paling efektif untuk menjadikan baju tersebut lebih sustainable.

Jurnal tersebut memaparkan 5 skenario akhir kehidupan yang dapat dialami sebuah barang, yaitu:

  1. Base, yaitu dibuang;
  2. Reduce (mengurangi), yaitu memakai barang lebih lama dari biasanya sebelum dibuang;
  3. Reuse (Menggunakan kembali), bisa berarti didonasikan atau dijual ke toko barang bekas untuk digunakan orang lain;
  4. Recycle (Daur Ulang), atau memanfaatkan proses daur ulang industri untuk mengubahnya menjadi bahan baru yang dapat digunakan kembali;
  5. Share (Berbagi) atau menyewakan barang yang kamu punya.

Cara Yang Paling Sustainable Adalah Memakainya Selama Mungkin

Nah, dari 5 skenario itu, manakah yang sebenarnya paling selaras dengan gaya hidup berkelanjutan?

Para peneliti menemukan bahwa skenario REDUCE (mengenakan pakaian lebih lama, sebelum dibuang) memiliki Global Warming Impact (GWP) atau Dampak Pemanasan Global terendah.

Skenario dengan GWP terendah kedua adalah REUSE, yaitu barang digunakan kembali atau diwariskan untuk digunakan orang lain.

Daur ulang, meskipun merdu didengar, ternyata tidak berdampak sebaik yang kita harapkan. Para peneliti mengatakan bahwa daur ulang “menyebabkan total emisi yang relatif tinggi karena emisi yang digantikan dari produksi kapas relatif rendah.”

Lebih jelasnya begini. Menanam kapas ternyata tidak banyak menghasilkan emisi, jadi mendaur ulang kapas justru memberikan dampak negatif yang lebih tinggi daripada sekadar memanen kapas. Berbeda dengan serat sintetis—seperti nilon dan poliester— yang terbuat dari minyak dan membutuhkan banyak emisi pada proses produksinya. Pada kondisi ini, mendaur ulang mungkin lebih masuk akal daripada mengekstraksi minyak untuk membuat kain itu.

Bagaimana Dengan Jasa Rental Pakaian?

Berkebalikan dengan yang ingin kita percaya, para peneliti menempatkan layanan penyewaan pakaian sebagai skenario terburuk dari yang lainnya. Konsep pemakaian berulang-ulang mungkin terdengar “berkelanjutan”, tapi yang tidak terlihat adalah soal transportasi di belakangnya. Layanan sewa pakaian sangat bergantung pada transportasi untuk memindahkan barang sewaan dari satu orang ke orang lain, dan ketika proses ini terjadi dalam skala besar—karena barang itu digunakan berulang kali—maka skenario “berbagi” memiliki potensi pemanasan global tertinggi dibandingkan skenario yang lain.

Tentu saja ceritanya akan berbeda jika penyedia jasa rental mengirimkan barang ke konsumennya dengan moda transportasi berkarbon rendah seperti sepeda (atau mungkin perahu dayung?).

Perbedaan lain yang bisa meningkatkan GWP dari skenario rental atau berbagi adalah jumlah pemakaiannya. Misalnya saja jika baju yang kamu beli itu dikenakan 400 kali, bukan 200 kali (yang oleh para peneliti dianggap sebagai jumlah yang umum di semua skenario).

Studi menyebutkan bahwa jika kedua skenario ini digabungkan, maka layanan penyewaan bisa mencapai GWP yang setara dengan penggunaan kembali (reuse)—tetapi ini hanya akan terjadi “jika layanan penyewaan berada dekat dengan konsumen dan hanya menyewakan barang berkualitas baik untuk memastikan siklus penggunaan yang panjang.”

Saya tertarik membaca temuan ini di tengah munculnya berbagai start up yang ingin memberikan orang pilihan lain untuk memakai baju baru selain membeli baju baru.

Jasa layanan persewaan pakaian adalah model bisnis yang relatif baru dan trendi, menarik terutama di daerah perkotaan dimana mulai terjadi pergeseran pandangan dalam melihat “barang bekas”, dan sebagian besar cara promosi dan marketing layanan penyewaan biasanya mengambil angle soal keberlanjutan.

Anggapan positif bahwa “berbagi” pakaian bisa meningkatkan jumlah pemakaian sebelum akhirnya barang dibuang ternyata dipatahkan oleh hasil penelitian ini yang mengungkapkan sebaliknya.

Yang Terlihat “Hijau” Tidak Selalu Berarti Benar-Benar “Hijau”

Sirkularitas, atau sirkulasi produk dan material yang terus menerus dalam perekonomian, adalah tujuan yang mulia, meski begitu—saya setuju dengan salah satu artikel yang ditulis di FastCompany—para brand (merek) sejatinya tidak boleh hanya memilih aspek spesifik tertentu dan mengabaikan yang lain lalu kemudian menyatakan diri mereka sebagai pelaku ekonomi sirkular.

Fast Company mencatat: “Masalahnya banyak merek yang memilih hanya satu aspek kecil dari seluruh sistem sirkular — misalnya, menggunakan beberapa bahan daur ulang atau menyewa pakaian agar tetap berada di pasar lebih lama — dan kemudian memasarkan perusahaan mereka sebagai perusahaan yang “berkelanjutan” (sustainable).”

Memang tanpa pemikiran yang lebih kritis atau menyeluruh, kita akan mudah percaya kalau rental pakaian, misalnya merupakan alternatif “belanja” yang lebih ramah lingkungan dan ketika memakai jasanya, kita menjadi konsumen yang bertanggungjawab.

Penelitian ini merupakan pengingat penting bahwa tidak semua hal yang diiklankan sebagai produk atau layanan “hijau” benar-benar begitu adanya. Sama seperti ketika kita ingin mempelajari produk umum sebelum membelinya, rasa skeptis dalam dosis yang sama perlu diterapkan sebelum kita membeli produk/layanan yang mengklaim dirinya “berkelanjutan”.

Cara paling efektif untuk mengurangi jejak karbon kita adalah membeli lebih sedikit barang dan memakainya lebih lama. Jadi soal pakaian misalnya, mulailah untuk memakai yang paling sustainable, yaitu pakaian yang sudah ada di lemari pakaianmu.

 

BACA JUGA: Sambut Ekonomi Sirkular, Botol Sampo Pakai Ulang Hadirkan Ragam Keuntungan Bagi Pasar Perawatan Rambut di Indonesia