Apa Itu Fast Fashion?

Fast fashion adalah sebuah metode yang lekat kaitannya dengan desain, kreasi, dan pemasaran mode pakaian yang berfokus pada produksi dalam jumlah besar, cepat berganti, dan harga murah. Beberapa produsen pakaian besar yang menggunakan metode fast fashion kemungkinan besar sudah kamu kenal seperti ZARA, Uniqlo, H&M, FOREVER 21, dan merk-merk sejenis yang sering kita lihat di mall-mall.

Mengapa Fast Fashion Digemari?

Semenjak pertengahan abad kedua puluh, fashion menjadi sebuah kebutuhan yang penting. Tren berganti gaya berbusana sesuai dengan musimnya menjadi alasan utama industri fast fashion berkembang sangat pesat. Seperti kita tahu, di negeri yang memiliki empat musim, musim panas, musim semi, musim gugur, dan musim dingin, seseorang membutuhkan beragam pakaian yang disesuaikan dengan kondisi musimnya.

Tapi jika selama ini fashion meluncurkan tren/season sebanyak 4 kali dalam setahun, fast fashion bisa meluncurkan 2 hingga 4 tren tiap bulan atau 52 “micro-seasons” dalam satu tahunnya, atau berarti 1 koleksi setiap minggu!

Bayangkan setiap minggu ada tren baru. Siapa orang yang benar-benar bisa mengikuti ini? Sungguh siklus yang sempurna untuk jiwa-jiwa konsumtif yang selalu merasa perlu sesuatu yang baru.

Dampak Lingkungan dan Sosial dari Fast Fashion

Penerapan fast fashion erat kaitannya dengan dampak negatif terhadap lingkungan dan sosial. Sejalan dengan roda industri fast fashion yang super cepat, berjalan juga sejumlah kerusakan terhadap lingkungan dan sosial yang tingkat keparahannya mungkin lebih cepat, seperti:

  • Pencemaran Air

Semakin banyak pakaian diproduksi, semakin banyak pula limbah yang dihasilkan. Kebanyakan negara tempat produk fast fashion dibuat adalah negara-negara berkembang seperti India, Pakistan, Bangladesh, Vietnam, Cambodia, termasuk Indonesia, yang tidak memiliki regulasi ketat yang mengatur pembuangan limbah tekstil.

  • Polusi Polyester

Bahan ini digemari industri fast fashion karena harganya yang murah, menyerap warna dengan baik dan bebas kusut. Tidak heran ada data yang mencatat bahwa sejak tahun 2000, masa ketika tren fast fashion baru dimulai, produksi polyester meningkat.

Bahan ini rasanya memang punya sejumlah kelebihan kecuali kurang enak dipakai. Kenapa polyester berbahaya? karena bahan sintetis ini mengandung plastik yang dapat melepaskan microplastik ke air ketika dicuci.

Sama seperti plastik, mikroplastik pun memerlukan waktu hingga ratusan tahun untuk terurai secara alami. Di dalam perjalanannya untuk terurai, mikroplastik bisa saja ditelan (atau tertelan) hewan atau masuk ke tubuh manusia melalui hewan yang dimakan.

  • Menghasilkan Banyak CO2

Industri fast fashion menyumbang 1.2 milliar ton CO2 per tahun atau 10% dari total polusi CO2 di dunia, angka ini lebih besar dibandingkan industri penerbangan dan transportasi laut.

Dalam proses pembuatannya, satu buah kaos menghasilkan sebanyak 2.6 kg CO2 dan produksi satu buah celana jeans melepaskan 11.5 kg emisi CO2.

  • Perbudakan Modern

Negara-negara di Asia seperti Vietnam, India, Pakistan, Bangladesh, China, Thailand merupakan gudangnya tenaga kerja garmen yang rela dibayar amat murah dan di banyak kasus, mereka bekerja di lingkungan yang tidak sehat.

Yang juga menyedihkan adalah banyaknya brand yang mempekerjakan anak-anak di bawah umur. Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) menyatakan ada sekitar 260 juta pekerja anak di seluruh dunia yang bekerja untuk brand-brand besar skala internasional.

Dalam praktik fast fashion, perbudakan dengan gaya modern seakan menjadi hal yang wajar. Menurut survei ‘Fashion Checker’, 93% merek fast fashion malah tidak membayar pekerja garmen dengan upah layak.

kampanye fast fashion
Salah satu kampanye sosial World Vision tentang buruh anak dalam fast fashion.
  • Menghasilkan Sampah Pakaian

Bagaimana nasib dari pakaian yang tidak laku atau sudah melewati masa trennya? Sekitar 57% pakaian fast fashion yang tidak terjual tidak didaur ulang, melainkan hanya dibuang saja di tempat pembuangan akhir atau ditimbun.

Banyak juga produk yang tidak laku akan dijual tanpa label dengan harga murah ke negara-negara miskin atau berkembang.

Pada tahun 2020 saja, menurut Fibre2Fashion ada sekitar 18,6 juta ton limbah tekstil dibuang di tempat pembuangan akhir yang kemudian berakhir di laut. Rata-rata, konsumen juga membuang 60% pakaiannya hanya setahun setelah membeli.

Nah, meski kelihatannya sederhana, kalau kita pahami lagi ternyata membeli baju itu lebih daripada soal gaya atau mengikuti tren. Dampak sosial dan lingkungan yang ditimbulkannya ternyata tidak seceria promosi yang digambarkan brand lewat selebriti atau influencer di social media.

Sebagai konsumen yang bijak, sudah selayaknya kita kembali ke konsep fast fashion.  

BACA JUGA : Kembali ke Slow Fashion