Fast fashion digemari karena memungkinkan banyak orang bisa selalu tampil kekinian dengan biaya terjangkau. Sayangnya, di balik keceriaan dalam bergaya, fast fashion juga memberi dampak merugikan ke berbagai sisi kehidupan mulai dari lingkungan maupun sosial.

Kami merangkum 10 fakta untuk memberikan gambaran yang lebih jelas kenapa kita sebaiknya lebih bijak ketika ingin membeli produk fast fashion.

  1. 100 Miliar Pakaian Diproduksi Setiap Tahun

Ini berarti ada hampir 14 item untuk setiap manusia di planet ini. Coba cek lemari kamu, pasti ada lebih dari 14 baju dong? Dengan angka yang mencengangkan ini, tidak heran kalau produksi pakaian global disebut sebagai industri manufaktur terbesar ketiga di dunia, di bawah industri otomotif dan teknologi.

  1. Rata-rata Orang Hanya Memakai 20% dari Pakaian Mereka dan Memakai Hanya 80% dari Usia Pakaian.

Gaya belanja modern – yang mengandalkan produksi cepat dan penawaran murah – mendorong konsumsi berlebihan karena pada dasarnya orang tertarik pada barang-barang murah atau godaan “sale”, tidak terlalu peduli perlu atau tidak, tapi ada kesenangan saat membelinya.

Hal ini dimengerti dengan baik oleh brand fast fashion. Pembeli akan merasa lebih mudah dan lebih ekonomis untuk mengambil pakaian murah meski cepat rusak dibandingkan membeli pakaian berkualitas tinggi dan tahan lama yang mungkin tidak sesuai tren.

Meski memiliki banyak barang fashion, penelitian juga menunjukkan bahwa kebanyakan yang dipakai berulang-ulang hanya beberapa item saja. Di banyak kasus, setidaknya 50% barang di lemari pakaian bahkan tidak pernah dipakai.

Menurut kamu benar enggak? Menurut kita sih iya..

  1. Fast Fashion Menargetkan Konsumen Berusia 18 hingga 24 tahun

Sebuah studi menemukan bahwa brand fashion secara sadar menargetkan konsumen muda, seringkali pelajar, yang berpendapatan rendah atau bahkan masih dapat subsidi uang jajan dari orangtua.  Dikatakan, perempuan dari kelompok usia ini berbelanja barang fast fashion lebih banyak daripada kelompok demografis lainnya.

Tidak mengherankan, harga murah dan gaya kekinian menjadi daya tarik utama bagi kelompok ini. Faktanya, penulis penelitian berpendapat bahwa konsumen muda biasanya lebih rela mengorbankan kualitas premium untuk harga yang lebih rendah dan lebih banyak variasi.

  1. Industri Fast Fashion Menyumbang Lebih Banyak Polusi Daripada Yang Dihasilkan Oleh Gabungan Penerbangan Internasional dan Pengiriman.

Kalau kita lihat dari model bisnisnya, tak mengejutkan kalau mode cepat dikatakan sebagai salah satu industri yang paling merusak lingkungan di dunia, sehingga industri ini pun berkontribusi terhadap polusi global dan perubahan iklim.

Jika fast fashion adalah sebuah negara, emisi karbonnya diperkirakan mencapai peringkat hampir setinggi seluruh benua Eropa. Emisi tidak hanya berasal dari proses manufaktur itu sendiri tetapi juga dari pengiriman pakaian ke seluruh dunia, serta pembuangannya.

  1. 60% Pakaian Dibuat Dengan Bahan Berbahan Dasar Plastik

Selain menghasilkan emisi CO2, garmen juga merupakan sumber polusi mikroplastik yang sangat besar.

Kalau kamu jalan-jalan ke toko yang menjual produk fast fashion, coba perhatikan lebih dekat deh material yang digunakan. Sebagian besar pakaiannya dibuat memakai bahan yang tahan lama tapi murah seperti nilon atau poliester. Bagus untuk membuat warna keluar, tapi sebenarnya tidak nyaman dipakai karena tidak menyerap keringay.

Diperkirakan sekitar 60% barang-barang mode cepat diproduksi dengan kain berbasis plastik (yang terbuat dari bahan bakar fosil). Sepanjang siklus hidup mereka, kain ini secara signifikan berkontribusi terhadap krisis polusi plastik di seluruh dunia.

Pada setiap pencucian dan pengeringan, barang ini akan melepaskan mikrofilamen yang bergerak melalui sistem pembuangan limbah kita dan berakhir di saluran air. Peneliti memperkirakan bahwa setengah juta ton kontaminan ini mencapai laut setiap tahun.

  1. Industri Fashion Mengkonsumsi 93 Miliar Meter Kubik Air Setiap Tahun

Tahukah kamu kalau untuk menghasilkan sepotong jeans saja, dibutuhkan sekitar 2.000 galon (7,6 meter kubik) air?

Dengan perhitungan ini, terbayangkah berapa banyak air yang diperlukan sektor ini untuk memproduksi semua barangnya setiap tahun? Apalagi memikirkan barang yang tidak laku yang akhirnya dibuang saja ke TPA.

Namun, itu bukan satu-satunya masalah yang disumbangkan sektor ini kepada lingkungan. Sebagian besar air yang digunakan tersebut akan terkontaminasi oleh bahan kimia beracun. Menurut Program Lingkungan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNEP), 20% air limbah global yang ditanggung lingkungan berasal hanya dari pencelupan tekstil saja.

  1. Kita Membuang 92 Juta Ton Limbah Tekstil Setiap Tahun

Kita membuang banyak pakaian karena banyak alasan; tidak muat lagi, sudah ketinggalan zaman, sudah rusak setelah dicuci, sampai yang jarang dipakai karena setelah dibeli ternyata tidak terlalu nyaman dipakai.

Di Amerika, rata-rata orang membuang 37 Kg pakaian setiap tahun. Hal ini menyebabkan 85% tekstil yang diproduksi di negara itu berakhir di tempat pembuangan sampah atau dibakar.

Di Indonesia, dikutip dari Think Conscious, penelitian YouGov mencatat bahwa sebanyak 66% orang dewasa di Indonesia membuang sedikitnya satu pakaian mereka dan 25% diantaranya membuang lebih dari 10 pakaian mereka dalam setahun.

  1.  Daur Ulang Tidak Selalu Bisa Jadi Jawaban  

Kita tentu senang jika mendengar makin banyaknya teknologi baru dan inovatif untuk mendaur ulang tekstil. Tapi sayangnya, itu tidak cukup, karena merek fashion yang menerapkan strategi daur ulang untuk barang-barang mereka masih amat sedikit. Bukan tidak mau, tapi ternyata daur ulang tidak semudah itu.

Alasan utama mengapa daur ulang sangat sulit adalah karena material yang digunakan barang-barang fashion itu sebagian besar diproduksi dengan serat sintetis yang dibuat dengan minyak mentah, yang membuatnya hampir tidak mungkin untuk digunakan kembali dengan cara lain.

Untungnya, data menunjukkan bahwa pasar mode yang berkelanjutan dan etis berkembang pesat, menawarkan alternatif pakaian yang dibuat dari bahan yang lebih ramah lingkungan, yang ditanam dan dipanen secara berkelanjutan, dan diproduksi dengan sumber daya yang lebih sedikit dan bahan yang kurang beracun.

  1. Pakaian Fast Fashion Dibuat oleh Wanita Muda Antara Usia 18 dan 24 Tahun

Selain dampak lingkungan, fast fashion sering juga disorot karena dampak sosial yang besar.

Bagi konsumen yang pintar, harga murah sering kali menjadi pertanda kalau ada yang salah di balik layar. Terlalu sering, industri ini dikaitkan dengan isu-isu seperti pekerja anak, eksploitasi pekerja, pelanggaran hak-hak dasar pekerja, seperti kurangnya aturan keselamatan, gaji rendah, dan jam kerja yang berlebihan.

Sudah banyak juga film dokumenter yang membahas masalah ini secara mendalam, kamu bisa lihat beberapa film yang kami rekomendasikan di sini.

Merek fast fashion mengutamakan produksi massal dan cepat dan profit di atas kesejahteraan manusia. Beberapa bahkan menggambarkan industri fashion cepat tak ubahnya ‘bentuk perbudakan modern‘.  Dalam sebuah Laporan Departemen Tenaga Kerja AS ditemukan bukti kerja paksa dan pekerja anak di industri fashion di Argentina, Bangladesh, Brazil, China, India, Indonesia, Filipina, Turki, dan Vietnam.

  1. Hampir 60% Klaim Keberlanjutan Sebenarnya Cuma Greenwashing

Lebih sering daripada tidak, klaim lingkungan dari perusahaan mode cepat tidak lebih dari strategi pemasaran, demikian ungkap hasil investigasi yang dilakukan oleh Changing Markets Foundation.

Kamu tentu sudah tahu kalau ada sebuah brand menyatakan dirinya sebagai lini pakaian yang berkelanjutan bukan berarti secara otomatis membuat mereka benar-benar ramah lingkungan.

Nah, semoga fakta mencengangkan di atas memberi kita perspektif baru soal pakaian dan mengingatkan kita ketika ada dorongan impulsif untuk membeli baju baru yang sebenarnya tak perlu.

BACA JUGA: Kembali Ke Slow Fashion