Bambu kerap dikatakan sebagai salah satu materi yang berkelanjutan, tapi benarkah begitu?

Pertanyaan ini tidak bisa dijawab sesederhana benar atau salah karena untuk menjawabnya dengan benar, kita perlu melihat keseluruhan rantai pasokan.

Mari kita lihat dari berbagai aspek untuk mencari kesimpulan apakah benar bambu itu eco-friendly seperti banyak digaungkan atau hanya gimmick marketing?

Apa Itu Bambu?

Pada umumnya, orang Indonesia pasti tidak asing dengan bambu. Di pelajaran sejarah saja kita selalu diberitahu kalau salah satu senjata kita melawan penjajah adalah bambu runcing. Organik, ringkas dan mematikan.

Sampai kini pun di pedesaan bahkan di daerah “kampung” di perkotaan bambu banyak bertumbuhan.

Bambu adalah salah satu tanaman dengan pertumbuhan tercepat di dunia, yang mampu tumbuh hingga satu meter per hari. Ada ribuan jenis bambu dan orang telah menggunakannya selama berabad-abad untuk berbagai kebutuhan mulai dari konstruksi, makanan, obat-obatan, termasuk senjata seperti yang digunakan orang Indonesia dulu.

Bambu dianggap sebagai sumber daya yang berkelanjutan karena tingkat pertumbuhannya yang cepat dan kemampuannya untuk beregenerasi setelah dipanen. Bambu juga tahan terhadap serangan hama dan penyakit sehingga dia merupakan bahan yang ideal untuk bangunan ramah lingkungan.

Seberapa Besar Industri Bambu?

Bambu telah banyak digunakan untuk memproduksi beragam barang seperti furnitur, pakaian, bahan bakar, dekorasi, obat-obatan, tissue,  peralatan makan, perhiasan, kemasan, bahkan rangka sepeda.

Bambu bukan hanya bahan yang sedang trendi, tanaman ini juga memainkan peran penting dalam infrastruktur di seluruh dunia. Tanaman ini tumbuh secara luas di Cina, produsen bambu terbesar di dunia dengan lebih dari 35 juta orang bekerja di industri ini, diikuti oleh Vietnam dan Thailand.

Pada tahun 2020, pasar bambu global bernilai USD 53,28 miliar dan diperkirakan akan bertambah dengan tingkat pertumbuhan tahunan sebesar 5,7% dari tahun 2021 hingga 2028 (sumber).

Mengapa Bambu Disebut Ramah Lingkungan?

Suatu produk bisa dikatakan ramah lingkungan dan berkelanjutan kalau ia memiliki ciri-ciri ini, yaitu:

  • Terbuat dari bahan terbarukan,
  • Awet dan tahan lama,
  • Dapat didaur ulang atau kompos.
  • Memiliki dampak minimal terhadap lingkungan secara keseluruhan dari produksi hingga pembuangan

Di bawah ini adalah 6 alasan bambu menjadi pilihan yang lebih hijau.

1. Bambu Adalah Sumber Daya Terbarukan

Bambu adalah salah satu tanaman dengan pertumbuhan tercepat. Seperti rumput liar, bambu mencapai kematangan penuh hanya dalam waktu 3 sampai 5 tahun. Bandingkan dengan kayu keras seperti jati yang membutuhkan waktu lebih dari 20 tahun untuk matang.

Bambu juga tidak perlu ditanam kembali setelah dipanen karena bambu beregenerasi dari sistem akarnya. Ini berarti tidak perlu membuka lahan baru untuk ditanami, yang mengurangi penggundulan hutan dan erosi tanah.

2. Pembersih Udara 

Kebun bambu melepaskan 35% lebih banyak oksigen daripada kebanyakan spesies pohon dan dapat menyerap hingga 12% karbon dioksida di atmosfer (sumber).

3. Awet dan Tahan Lama

Salah satu kualitas terpenting dari produk berkelanjutan adalah daya tahan. Jika suatu produk tidak tahan lama, produk itu akan berakhir di tempat pembuangan sampah jauh sebelum waktunya.

Bambu adalah salah satu bahan paling tangguh di bumi dan telah dibuktikan ketangguhannya. Ia juga tahan rayap, sehingga lebih tahan lebih lama juga dibanding banyak produk kayu.

4. Dapat Didaur Ulang dan Dibuat Kompos

Ketika bambu alami mencapai akhir hidupnya, ia dapat didaur ulang atau dibuat kompos. Ini adalah faktor penting lainnya dalam menentukan keberlanjutan suatu produk. Jika tidak dapat digunakan kembali atau digunakan kembali, pada akhirnya akan berakhir di Tempat Pembuangan Akhir.

5. Mudah Tumbuh 

Bambu tumbuh subur di berbagai iklim dan jenis tanah, menjadikannya salah satu tanaman paling serbaguna di dunia. Bahkan dapat tumbuh di daerah di mana tanaman lain tidak bisa tumbuh, seperti lereng bukit yang curam atau lahan basah.

Ini berarti bambu dapat ditanam di daerah yang tidak cocok untuk pertanian tradisional, yang membantu melestarikan ekosistem yang berharga.

6. Minim limbah 

Semua bagian tanaman bambu dapat dimanfaatkan. Batangnya dapat digunakan untuk konstruksi, sedangkan daun dan akarnya dapat digunakan sebagai mulsa atau pakan ternak. Bahkan debu yang tercipta selama pemrosesan dapat didaur ulang dan digunakan sebagai pupuk.

Ini berbeda dengan banyak bahan lain, seperti plastik atau logam, yang seringkali memiliki banyak limbah yang terkait dengan produksinya.

Jadi bambu memiliki banyak kualitas yang menjadikannya pilihan yang berkelanjutan, tetapi ada juga alasan untuk mengatakan sebaliknya.

Kenapa Bambu Disebut Tidak Berkelanjutan?

1. Permintaan Yang Tinggi Mendorong Perkebunan Monokultur

Karena bambu memiliki nilai pasar yang menggiurkan dan memberi margin lebih tebal daripada kayu, para petani, terutama di China, telah mengubah hutan dan ladang menjadi perkebunan bambu.

Sebuah laporan dari tahun 90-an menunjukkan bahwa China menebang 23% hutan alam untuk produksi bambu.

Ketika hutan dibuka dan tanah terlantar dijadikan lahan untuk menghasilkan satu tanaman, terciptalah monokultur. Monokultur dapat berdampak buruk pada ekosistem lokal karena menurunkan keanekaragaman hayati, kesehatan tanah, dan kualitas air.

Perkebunan tunggal juga rentan mendatangkan hama dan penyakit, sehingga perkebunan bambu sering disemprot bahan kimia berbahaya untuk mencegahnya, meski secara alami sebenarnya perkebunan bambu tidak membutuhkan perawatan tersebut.

2. Tidak Selestari Kelihatannya

Masyarakat dunia sudah menjadi lebih sadar akan dampak plastik dalam pencemaran lingkungan, maka banyak orang mencari produk alternatif yang lebih ramah lingkungan.

Produsen pun berlomba membuat berbagai macam produk dari bambu seperti piring, mangkok, sedotan, peralatan, hingga popok bayi. Namun, Analisis sedotan Appropedia menunjukkan bahwa bambu mungkin tidak ramah lingkungan seperti yang kita perkirakan.

Laporan tersebut membandingkan emisi sedotan plastik sekali pakai dengan emisi dari sedotan bambu. Hasil penelitian menunjukkan bahwa 1 sedotan plastik seberat 0,20 gram mengeluarkan 1,45 gram CO2, sedangkan sedotan bambu seberat 3,8 gram memancarkan 38,87 gram CO2.

Meskipun begitu, dari laporan tersebut bambu masih lebih baik dibandingkan sedotan stainless dan sedotan gelas. Sedotan bambu lebih baik lagi jika dipakai di daerah penghasil bambu seperti cina atau Indonesia. Tapi kalau harus diimpor, misalnya saja untuk pemakaian di Amerika Serikat, tentu ada dampak dari transportasi harus diperhitungkan.

Studi tersebut juga menunjukkan bahwa 100% sedotan plastik dibuang setelah 1 kali penggunaan, sedangkan sedotan bambu rata-rata disimpan selama 5 tahun, dan 25% dikomposkan.

Ini berarti bahwa sedotan bambu harus menggantikan setidaknya 27 sedotan plastik untuk memberikan dampak positif bagi lingkungan.

Meskipun produk bambu dapat terurai secara hayati, ini tidak berarti secara otomatis ramah lingkungan. Proses pembuatan produk bambu menghasilkan emisi gas rumah kaca dalam jumlah yang signifikan.

3. Seringkali ada Plastik di Bambu

Banyak produk yang mengaku sebagai produk dari bambu sebenarnya dibuat dengan plastik. Contohnya cangkir yang terbuat dari komposit plastik bambu (BPC).

Sepintas, gelas ini kelihatan seperti alternatif yang lebih ramah lingkungan daripada gelas plastik. Tapi nyatanya, kandungan bahan gelas ini lebih banyak plastiknya, hanya sebagian kecil saja bagian yang terbuat dari serat bambu. Saat terkena panas, seperti plastik pada umumnya, cangkir ini dapat melepaskan zat kimia yang berbahaya bagi kesehatan.

Jadi kalau kamu mencari cangkir yang ramah lingkungan dan aman untuk digunakan, jangan terjebak gimmick marketing, ya. Pilihlah produk yang secara jelas menyatakan kalau ia terbuat dari 100% bambu.

Kini ada banyak produk terbuat dari bambu. Coba kita cermati beberapa diantaranya ya!

Apakah Pakaian dari Bambu Ramah Lingkungan?

Kain bambu, terutama garmen terasa halus dan lembut di kulit. Untuk menentukan apakah tekstil bambu ramah lingkungan, kita perlu memahami cara pembuatannya. Ada dua jenis proses: mekanik dan kimia.

Pemrosesan mekanis

Proses pembuatannya dimulai dengan menghancurkan ampas dari tanaman bambu menjadi bubur. Setelah bambu direduksi menjadi bubur, serat-seratnya disisir dan dipintal menjadi benang. Kain yang dihasilkan dikenal dengan linen bambu, tidak terlalu lembut, mirip dengan bahan linen atau rami.

Pemrosesan mekanis membutuhkan banyak sumber daya tetapi lebih berkelanjutan daripada metode pembuatan kimia. Akibatnya, linen bambu cukup mahal untuk diproduksi.

Pemrosesan kimia

Dalam proses kimia, bagian kayu dari tanaman bambu dihancurkan dan dipecah menjadi larutan selulosa.

Larutan ini kemudian diolah dengan berbagai bahan kimia, termasuk karbon disulfida, soda kaustik, dan asam sulfat.

Hasilnya adalah kain lembut yang sering digunakan pada pakaian dan tempat tidur, sering juga disebut rayon atau bambu viscose.

Pengolahan cara kimia membutuhkan lebih sedikit pekerja, namun lebih berbahaya bagi lingkungan karena bahan kimia beracun yang digunakan dalam prosesnya dapat mencemari sumber air dan tanah setempat

Sayangnya, kalau kita lihat di pasaran, sebagian besar tekstil bambu adalah bambu-viscose, yaitu material bambu yang terbuat dari proses kimia.

Jadi, gimana dong?

Dewan Pertahanan Sumber Daya Alam merekomendasikan agar kita menghindari bambu viscose konvensional dan mencari bambu yang diproses secara mekanis atau bambu lyocell sebagai alternatif yang lebih ramah lingkungan.

Apakah Lantai Bambu Ramah Lingkungan?

Lantai bambu adalah alternatif ramah lingkungan yang populer untuk lantai kayu keras. Tidak seperti kayu keras, yang membutuhkan waktu puluhan tahun untuk tumbuh, bambu mencapai kedewasaan dalam waktu singkat.

Setelah dipanen, bambu dapat diolah dan dijadikan lantai tanpa menggunakan bahan kimia berbahaya atau finishing.

Lantai bambu juga sangat awet dan tahan lama. Dengan perawatan yang tepat, materi ini bisa bertahan selama beberapa dekade.

Ada dua jenis lantai bambu: padat dan direkayasa. Lantai bambu solid terbuat dari 100% bambu, sedangkan lantai rekayasa adalah campuran kayu dan bambu.

Kedua jenis lantai tersebut ramah lingkungan, tetapi lantai bambu padat lebih ramah lingkungan karena seluruhnya terbuat dari bambu.

BACA JUGA: Apakah Tisu dan Sikat Gigi dari Bambu Ramah Lingkungan?

Kekhawatiran Etis Tentang Industri Bambu

Berdasarkan data trendeconomy Cina adalah pengekspor bambu terbesar, yang menguasai 66% pasar.

Tidak mengherankan karena bambu paling banyak tumbuh secara alami di Cina. Namun, banyak juga importir melakukan bisnis dengan China untuk mendapat tenaga kerja yang lebih murah.

Seperti di industri besar lainnya, ada praktik perburuhan yang tidak etis Biro Urusan Internasional yang melaporkan kasus-kasus masalah kerja paksa dan pekerja anak di industri bambu Myanmar (Burma).

Sebelum membeli produk bambu apa pun, teliti perusahaan dan pastikan mereka memiliki kebijakan untuk memastikan pekerja mereka diperlakukan dengan adil dan tidak dikenakan kerja paksa.

Di luar kerja paksa, seperti yang kita ketahui sekarang, sebagian besar kain bambu diproses secara kimiawi. Yang cukup menarik, produk bambu bersertifikasi OEKO-TEX tidak mengandung bahan kimia berbahaya. Namun bukan berarti tidak ada bahan kimia yang digunakan dalam produksi—bahaya lain bagi pekerja dan lingkungan.

Kesimpulan: Jadi, Apakah Produk Bambu Ramah lingkungan?

Bambu punya banyak kualitas hebat yang membuat tanaman ini layak disebut ramah lingkungan. Dia tumbuh dengan cepat dan tidak memerlukan pupuk atau pestisida.

Namun, proses pemanenan dan pembuatan produk bambu bisa memberikan dampak merugikan bagi lingkungan. Cara beberapa perusahaan dalam industri bambu juga membuat banyak kekhawatiran secara etis.

Jadi untuk memastikan produk bambu yang kamu beli itu benar-benar eco-friendly kamu harus pastikan kalau produsennya transparan dengan rantai pasokannya.

Sudahkah kamu beralih menggunakan produk bambu? Apa saja produk yang sudah pernah kamu coba dan bagaimana pendapat kamu?